Kilau Terakhir

samSara
Chapter #6

vijf


**

Hari Ketika Doenia

Tidak Berhenti Oentoek Siapa Poen.

**

Selama ini, kadang Satya mencoba mendekat. Tapi selalu ada jeda yang tak pernah ia lewati—dan Ruth selalu pergi sebelum ada kata pertama. Begitu terus hingga batas akhir kelulusan, ia tetap berada di orbit yang sama: nyaris menyentuh, tapi tak pernah benar-benar sampai.

Ruth tetap menjadi pusat gravitasi yang ia amati dari orbit. Jauh, tapi terlalu terang untuk diabaikan.

**

3 tahoen kemoedian.

Hari kelulusan.

Tahun 1930, Hoogere Burgerschool (HBS), Semarang, telah berdiri selama lebih dari dua dekade. Bangunannya tinggi, berjendela lebar-lebar dengan tirai tebal dari kain batik halus. Acara kelulusan tahun itu diadakan di aula utama—dihiasi bunga kenanga dan seroja, dengan musik keroncong lembut dari panggung kecil di sisi timur.

Para tamu duduk dengan pakaian terbaik mereka—kebaya beludru, jas kolonial, blangkon halus dari Solo, serta beberapa seragam resmi militer Belanda. Anak-anak bangsawan dan priayi dari berbagai daerah duduk sejajar, mengenakan kain batik berkelas tinggi. Ruth Daryanegara tampil dengan kebaya putih gading, rambut disanggul rapi dengan semat melati. Ia tampak seperti anak perempuan dari patung Dewi Saraswati yang hidup—anggun, pintar, dan tak tersentuh.

Satya Praboeningrat duduk di barisan belakang bersama para siswa beasiswa. Jas pinjamannya tampak bersih, meski sedikit kebesaran di bahu. Ia menatap panggung dengan tatapan yang tak bisa ditebak: campuran bangga, gugup, dan sesuatu di dadanya yang belum tahu apakah ini akhir atau kehilangan.

Selama tiga tahun atau lebih lama dari itu, ia memendam semuanya. Perasaannya pada Ruth. Kekagumannya. Obsesi yang perlahan tumbuh seperti lumut di bawah batu basah. Ia bukan lelaki bodoh. Ia tahu Ruth tak pernah melihat ke arahnya, apalagi peduli.

Tapi malam ini... malam ini adalah penutup. Setelah ini, hidup mereka akan berpisah. Dan ia tidak ingin pergi membawa penyesalan.

Sebenarnya, Satya adalah siswa dengan nilai tertinggi tahun itu. Dan seharusnya, dia yang berdiri di atas panggung dan menyampaikan pidato perpisahan mewakili angkatan lulusan. Tapi ia diam-diam menolak. Ia tahu Ruth ingin bicara. Ingin bersinar. Dan Satya, yang hidupnya selalu di pinggiran, tahu bagaimana rasanya tidak diberi panggung.

Maka ia memberikan itu padanya. Dengan hati lapang. Dengan harapan kecil: mungkin setelah ini Ruth akan melihatnya. Sedikit saja.

Lihat selengkapnya