**
✨Djedjak Tanpa Bajangan.✨
**
5 tahoen kemoedian.
Batavia, 1935.
Di antara deretan delman elegan dan mobil-mobil Ford milik orang-orang Eropa, ada satu kereta kuda hitam yang selalu terparkir diam di depan gedung balai dansa De Harmonie. Kusirnya mengenakan beskap hitam dan blangkon, tidak bicara kecuali ditanya. Namun siapa pun yang mengenali kereta itu akan tahu satu hal: penumpangnya bukan orang sembarangan.
Malam itu, di dalam gedung bercat putih dengan tiang-tiang tinggi ala neo-klasik, musik waltz mengalun lembut. Para pria berjas dan perempuan dalam kebaya modern menari perlahan di lantai marmer. Cangkir-cangkir porselen berisi anggur dan kopi mengelilingi ruang tamu belakang tempat para pejabat Belanda dan saudagar-saudagar pribumi bertukar kabar dan peluang bisnis.
Dan di tengah semua itu, duduk seorang pria muda dengan sorot mata tajam dan senyum pelan yang menyimpan ratusan rahasia: Satya Praboeningrat.
Lima tahun telah mengubahnya menjadi sosok yang bahkan tidak akan dikenali oleh teman-teman masa kecilnya—atau bahkan dirinya sendiri yang dulu.
Tak ada lagi yang mengenal nama itu di buku sekolah. Tapi di kalangan pengusaha pribumi, saudagar-saudagar asing, dan para punggawa yang menjaga jantung kekuasaan, namanya berbisik seperti mitos. Ia bukan pejabat. Bukan tokoh politik. Tapi ia hadir di meja perundingan penting, menjadi pemilik saham yang tak tercatat, menulis kebijakan dari balik layar.
Satya telah berubah. Menanggalkan seragam muridnya, menukar kertas puisi dengan kontrak bisnis.
**
Perjalanannya menuju dunia atas tidak pernah mudah. Tapi ada dua tangan yang membuka jalan selebar-lebarnya untuknya: Tan Wiratmadja—putra keluarga Tionghoa kaya pemilik jaringan logistik dan pergudangan di pelabuhan, dan Raden Toemenggoeng Koesoemonegoro—tokoh keraton yang terkenal senyap namun tajam. Ia mengenali garis darah Satya dari caranya bersikap. Meski Satya tak pernah menyandang nama resmi keraton, darah itu tetap mengalir dari sang nenek—seorang putri yang memilih cinta dan hidup melarat bersama pria desa, daripada dinikahkan ke Adipati tua sebagai alat politik. Raden Koesoemonegoro melihat perlawanan itu sebagai keberanian. Dan Satya... adalah warisan dari keberanian itu. Ia memang pewaris tak diakui... tapi kini ia sedang membangun tahtanya sendiri.
Wira, dengan matanya yang selalu menilai, tidak hanya melihat luka dalam diri Satya... tapi juga potensi kebengisan yang bisa diarahkan.
"Aku tak peduli kau dari mana. Dunia ini bukan soal darah—ini soal bagaimana kau memotong leher orang yang tepat," kata Wira saat pertama kali menyerahkan map peluang bisnis di tangan Satya.
Bersama Wira dan restu sunyi dari Tumenggung Kusumonegoro, Satya merambah dunia tambang batu bara di luar Jawa, menanam saham dalam jaringan rokok kretek, dan bahkan memiliki sebagian saham dari perusahaan distribusi logistik yang dikendalikan oleh Wira.
Kini Satya dikenal di kalangan terbatas sebagai "Toean S"—pemilik saham terbesar di perusahaan tambang "Maraboenta Corp." dan perusahaan rokok "Merapi Kretek". Tapi ia selalu berada di balik tirai. Tidak pernah tampil ke muka publik. Wajahnya tidak terpampang di surat kabar. Hanya segelintir orang penting yang tahu siapa dirinya sebenarnya.
**
Sampai suatu hari, di sebuah pesta dansa yang diadakan di De Harmonie Hotel (lebih dikenal sebagai Societeit de Harmonie) merupakan sebuah gedung klub sosial eksklusif yang ada di kawasan Harmoni, Batavia. Letaknya berada persis di sudut perempatan jalan Veteran dan jalan Majapahit, tepat di ujung Molenvliet.