Tiga bulan kemudian....
Perut mama sudah lebih besar. Berdasarkan pengamatan dan pengalamanku, biasanya hanya tinggal sebulan lagi, paling lama mama akan melahirkan.
Aku baru saja pulang dari pemantapan untuk persiapan ujian nasional kelulusan SMP. Masih 6 bulan lagi ujian diselenggarakan, namun di sekolah aku sudah mulai latihan untuk menghadapi ujian nanti.
Jam lima sore, telepon rumahku berdering. Mama yang sedang lewat di dekat bufet kayu jati, sebagai perabotan mewah yang masih tersisa, mengangkat telepon itu.
"Papa, apa kabar?!" sapa Mama setengah berseru.
"..."
"Alhamdulillah baik, Pa. Mama dan anak-anak semua sehat. Posisi Papa sekarang lagi di mana?"
"..."
"Hah, astaghfirullah! Ya ampuun, Pa! Kenapa bisa kayak gitu??"
"..."
Mama terdengar panik. Aku bisa mendengar jelas karena aku duduk sambil membuka sepatuku di kursi ruang paviliun, tepat di sebelah bufet kayu jati tadi.
"Terus sekarang gimana? Pantas Papa udah seminggu ngga ada kabar."
"..."
"Yaudah, yang penting papa sehat dan selamat sampai di rumah ya."
Mama menutup teleponnya.
"Kenapa, Ma?" Aku memberanikan langsung bertanya.
Teh Meri dan Kang Liby yang sedang duduk depan televisi pun ikut penasaran dan berdiri mendekati mama.
"Papa sakit. Sekarang lagi di Singapura dan lagi siap-siap buat pulang," ucap mama sambil gemetar.
"Sakit apa emang, Ma? Sampai harus pulang mendadak. Kan di kapal ada tim dokter yang menangani," ucap Kang Riswan. Aku hanya bisa menyimak.
"Dokter di kapal bilang, Papa kena serangan gejala stroke," mama berkata lirih.
"Hah? Stroke? Terus tadi papa kan yang ngobrol sama Mama. Kalau stroke biasanya udah susah mau ngomong juga," ucap Kak Meri.
"Iya, kan masih gejala. Tapi keputusan kapten, papa harus pulang dulu," ucap Mama lagi.
Aku tidak bisa mencerna seutuhnya. Yang jelas situasi cukup genting untuk keluargaku saat ini.