KILIAN HUMPHREY - Cowok Berdarah Campuran

Hendrina Erving
Chapter #2

Chapter 1

Markus Seda dan Maria Nawang adalah sepasang suami-istri yang mendiami sebuah rumah besar di kawasan Puri Indah, Jakarta barat. Pasangan ini berasal dari Flores. Markus Seda berasal dari Maumere, berusia akhir lima puluhan, berperawakan proporsional yang nampak cerdas dan tegas dengan mata hitam yang selalu menatap tajam. Markus adalah seorang dosen senior dan juga pengamat ekonomi. Dia juga dikenal sebagai pakar ekonomi Indonesia dan memiliki karir yang cemerlang. Sementara Maria Nawang hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dia berdarah campuran Manggarai–Tionghoa dengan perawakan pendek dan gemuk.

Keluarga Seda memiliki tiga orang anak. Seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki kembar. Mereka hidup sederhana meski mereka berkecukupan. Keluarga itu membiasakan anak-anak mereka hidup mandiri dan bertanggung jawab. Terutama anak tertua mereka, Regina. Dia berusia dua puluh dua tahun, seorang mahasiswi semester akhir pada jurusan Sastra Inggris dan telah bekerja sebagai jurnalis paruh waktu pada sebuah majalah fashion internasional.

Sebagai anak tertua, Regina bertanggung jawab menjaga nama baik keluarga dan menjadi contoh bagi kedua adiknya. Keluarga Seda percaya bahwa Regina sama seperti gadis-gadis pada umumnya―suka berkumpul dengan teman-temannya. Mereka tahu Regina adalah gadis yang cerdas, ramah, dan ceria. Dia gadis yang populer di kalangan teman-temannya.

Keluarga Seda sangat bangga pada Regina dan percaya bahwa anak mereka itu akan memiliki masa depan yang cerah seiring dengan prestasi yang selalu diraihnya. Tapi siapa yang menduga apa yang akan terjadi di masa depan. Keluarga Seda tidak tahu bagaimana kelak anak gadis mereka akan menjalani kehidupannya. Begitu juga dengan Regina sendiri. Tak ada yang tahu.

Dalam keluarga mereka, Regina sendiri yang terlihat berbeda. Dia tinggi, langsing dan cantik. Kulitnya yang cokelat dan sehat membuatnya terlihat sangat eksotis. Dia gadis yang kuat dan gesit. Sepanjang hidupnya nyaris tak pernah sakit kecuali pada masa bayi dulu. Namun satu hal seharusnya menjadi pertanda. Akhir-akhir ini Regina telah dihantui sebuah mimpi buruk yang selalu membuatnya terjaga di pagi buta. 

Seperti pagi itu, Regina kembali terjaga dari tidurnya dengan keringat membasahi kening. Dalam mimpinya dia melihat manusia-manusia yang bergerak cepat seperti bayangan dan seorang pemuda yang murung serta mendengar suara seorang perempuan di kepalanya. Dia juga melihat sebuah enclave yang aneh dengan tujuh bangunannya, lalu kabut, hutan, padang rumput, langit yang mendung dan bulan yang gelap. Dan di setiap penghujung mimpinya, selalu ada seorang pria berwajah pucat dan dingin menerjang ke arahnya dengan cepat. Dia nyaris membunuhnya.

Mimpi itu terjadi nyaris hampir setiap malam terutama di kala dia tidak memiliki kesibukan. Sudah hampir seminggu dia memimpikan hal yang sama. Tapi dia tidak tahu apa maksudnya semua itu. Kecurigaannya hanya satu, semua itu adalah bawaan alam sadarnya karena sering menonton film-film thriller.

Akhir-akhir ini dia dan para sahabatnya―Jessica, Susie dan Tanzila, kecanduan film-film thriller. Sebelumnya mereka selalu menghindari film bertemakan thriller atau horror. Tanzila paling tidak suka film-film berbau hantu atau makhluk misterius lainnya seperti zombie atau vampire. Tapi sejak minggu lalu mereka bertekad untuk mencoba sesuatu di luar kebiasaan mereka. Dan itu ide dia. Dan film terakhir yang mereka tonton adalah tentang vampire. 

Tapi benarkah hanya karena sebuah film, pikir Regina dengan perasaan nelangsa. Tapi dia tidak pernah memikirkan film-film yang ditonton. Adegan seram dalam film selalu ditanggapi dengan pikiran enteng. Itu kan hanya hanya sebuah adegan dalam film. Tidak nyata. Mana ada makhluk seperti vampire di dunia ini. Makhluk berdarah dingin itu hanya dianggap sebagai cerita legenda. Semacam kisah-kisah misteri. Tak pernah ada tapi diada-adakan. Sama seperti alien, mermaid, drakula dan sebagainya. Dan dibanding film thriller, perhatiannya lebih tertuju pada masa akhir studinya. Dia lebih mencemaskan penyelesaian skripsinya ke depan ketimbang hal lain.

Regina mendesah. Saat dia menengok ke jendela, hujan sedang turun. Langit terlihat gelap. Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Dan Regina tak melihatnya sebagai tanda-tanda bahwa apa yang dipertanyakan akan segera terjawab, sebaliknya dia merasa kesal karena pagi-pagi hujan telah turun. Hujan di pagi hari akan menimbulkan banjir dan kemacetan di ruas-ruas jalan Jakarta. Dan dia malas bepergian di waktu hujan.

Pagi yang muram untuk mengawali hari baru. Tapi tak ada pilihan. Dia harus melakukan aktivitasnya seperti biasa. Semester ganjil hampir berakhir dan usulan proposalnya sudah diterima, dia harus ke kampus untuk berkonsultasi dengan dosen penasehatnya. Sungguh tak terasa jika kini dia sudah memasuki tahap terakhir dalam studinya. Tak lama lagi dia akan lulus dan siap mengembangkan sayapnya untuk terbang tinggi mengejar impiannya. Ya, tidak lama lagi. Dan dia berharap tak ada hambatan besar. 

Regina kembali memandang jendela. Hari masih terlalu pagi, ada baiknya dia tidur lagi. Regina berbalik dan menemukan remote control music player. Dia menekan tombol dan terdengar lagu indie folks Rain Falling yang dinyanyikan Yael Meyer. Lagu yang sangat cocok dengan suasana hujan di luar sana. Regina menikmati kelembutan musik dan suara vokalis hingga jatuh tertidur.

Ketika hujan telah selesai, Maria masuk ke kamar anak gadisnya. Regina sedang tertidur pulas. Dia tidur hanya berbalut kaos oblong dan celana dalam. Maria menggeleng. Kebiasaan anak gadisnya itu tidak berubah sejak kecil. Tak hanya itu, Regina juga selalu tidur menguasai ranjang dan tidak tentu arah, persis seperti gaya tidur para balita. Dan pagi itu, Maria menemukan Regina tidur melintang di atas kepala tempat tidur, dengan posisi tengkurap, kepala di bawah bantal dan pantat ke atas―menindih bantal-bantal yang lain.

Maria menggeser bantal yang menutupi kepala anaknya dan memanggil di dekat kupingnya.

“Regina!”

Gadis itu tersentak dari tidurnya dengan wajah panik. Suara ibunya terdengar seperti petir di angkasa dan sosoknya yang berdiri di tepi ranjangnya terlihat seperti bayangan dalam mimpinya. “Siapa?” katanya bingung.

“Jam berapa ini? Apa kau tidak ke kampus?” sahut Maria mengabaikan wajah panik yang diperlihatkan anaknya.

Regina melirik jam dinding dengan wajah separuh sadar. Sudah pukul enam pagi. Dia ketiduran. Regina berguling ke samping sambil mendengus berat.

“Kau tidak pergi ke kampus?” tanya Maria mengulang.

Lihat selengkapnya