Hari itu tanggal 22 Desember 2012, sebuah kereta cepat tiba di salah satu stasiun di kota Atlanta menjelang pukul tujuh malam. Wajah-wajah terlihat lega ketika pintu otomatis bergeser terbuka.
Di antara para penumpang yang melangkah ke peron, tampak seorang pemuda dengan penampilan khasnya, jaket kulit cokelat. Pemuda itu bernama Kilian Humphrey. Dia membaur dengan pergerakan ratusan orang di peron yang sempit. Sejenak Kilian menahan langkahnya, dan kemudian mata cokelatnya memandang sekeliling dengan waspada. Natal sebentar lagi tiba. Dan seperti kebiasaan menjelang natal, di mana saja terdengar musik natal. Seperti hari itu. Tak jauh dari pintu keluar, dua orang pria berkulit hitam menyanyikan versi blues lagu Silent Night. Sementara itu, di sudut peron―tak jauh dari tangga keluar, dua orang pria berpakaian sinterklas―lengkap dengan ember amal berwarna merah, membunyikan lonceng kuning dengan lambat sambil mengucapkan selamat natal.
Kilian menarik nafas dalam-dalam dan kemudian mendesah pelan. Sejenak dia menimbang. Dia telah melanggar aturan karena bepergian dengan menggunakan transportasi umum. Dan saat itu dia sudah berada di stasiun MARTA Art Center. Akankah Insiders menemukan jejaknya? Mungkin saja. Tapi, meskipun mereka menemukannya, mereka tidak akan mudah meringkusnya.
Kilian kembali melangkah, mengikuti kerumunan orang menaiki eskalator yang sempit dan bergerak lambat. Matanya tetap awas. Tak ada wajah-wajah yang mencurigakan di sekitarnya. Termasuk mereka yang menaiki tangga di sebelahnya. Tapi Insiders bisa saja ada di antara keramaian manusia. Dia harus berhati-hati. Mereka bisa menemukannya dari aroma tubuhnya. Penciuman mereka tajam. Mereka juga cepat. Dan kuat. Semua kelebihan itu mereka miliki. Dan sayangnya― dia tidak.
Eskalator akhirnya berhasil membawa Kilian dan para penumpang lainnya ke dunia di atas tanah, dan suasana ceria natal di alun-alun menyambut. Sebuah pohon natal besar berdiri di tengah stasiun, tak jauh dari eskalator. Mistletoe tergantung di pintu masuk dan lampu-lampu natal menghiasi jendela kaca. Di luar tak kalah meriah. Pohon-pohon juga tampak indah oleh lampu-lampu LED yang melingkar.
Kilian kembali mendesah. Perasaan miris menghampirinya. Setiap menjelang natal dia merasa bahagia, tapi juga sedih. Bahagia karena natal adalah suasana yang spesial―sebuah tradisi di mana orang-orang berkumpul bersama keluarga mereka. Tapi karena makna itu, dia merasa sedih. Dia tidak seperti mereka yang bisa merayakan Natal bersama keluarganya. Karena dia tidak memiliki keluarga. Dan setiap natal tiba, dia hanya menemukan dirinya tenggelam dalam kenangan masa lalu dan ketika dia tersadar, kesedihan mulai merongrong sanubarinya. Dia jadi mengasihani dirinya sendiri.
Berusaha melupakan kesedihannya, Kilian melangkah menuju pintu keluar. Tak jauh dari pintu keluar matanya menangkap sosok seorang gadis. Laura Mail. Gadis itu mengumbar senyum saat mata mereka bertemu. Jantung Kilian berdesir halus. Malam itu Laura mengenakan gaun berwarna hitam dari bahan fillet berlapis lace dengan bentuk turtle neck. Dan sebuah kalung berliontin berlian menghiasi lehernya yang jenjang. Dia terlihat sangat cantik.
“Hi,” sapa Kilian saat menghampirinya.
“Hi,” sahut Laura dengan mata berbinar.
“Apa aku terlambat?” tanya Kilian. Sekilas dia menangkap bayangannya di kaca pintu. Rambut cokelatnya terlihat sangat berantakan. Begitu pula dengan kulit putih pualamnya, terlihat terlalu mencolok dengan pakaiannya yang serba gelap. Dia suka mengenakan T-shirt hitam, jaket kulit cokelat tua, celana cargo hitam dan sepatu sneakers seperti biasanya, tapi hari itu penampilannya justru terasa mengganjal di hatinya.
Seharusnya aku memikirkan hal ini, batinnya.
“Kamu terlambat lima menit tiga puluh detik. Dan sebagai hukumannya, kamu harus menemaniku hingga pukul sepuluh. Bagaimana?”
“Baiklah,” katanya tanpa menimbang lagi. Laura tersenyum lebar, tapi kemudian dia memandang Kilian dengan prihatin. “Ada apa?” tanya Kilian.
“Aku pasti membuatmu kedinginan karena keluar di malam yang sedingin ini,” kata Laura sambil memperhatikan pakaian Kilian. Pemuda itu buru-buru merapatkan jaketnya seolah-olah dia memang kedinginan.
“Tidak masalah,” katanya dengan suara rendah. Laura tersenyum. Dia berusaha meraih tangan Kilian, tapi pemuda itu justru memasukan tangannya ke dalam saku jaketnya. Dia tidak berani membiarkan gadis itu bersentuhan dengannya. Laura terpaksa mengurungkan niatnya. Dia kecewa karena Kilian selalu menjaga jarak dengannya. Dan Laura selalu bertanya-tanya tentang sikap Kilian yang aneh itu. Mereka sudah berteman baik, tapi pemuda itu selalu berusaha tidak bersentuhan dengannya―seperti di awal perkenalan mereka, Kilian enggan untuk berjabat tangan.
“Bagaimana liburanmu?” tanya Laura beralih dari kekecewaannya.
“Tidak ada yang spesial,” sahut Kilian. “Bagaimana denganmu? Apa kamu akan menghabiskan seluruh liburanmu di New York?” tanyanya lagi sambil memandang Laura yang sedang melambaikan tangan ke arah taksi.
“Setelah merayakan Natal di New York, aku dan kedua orang tuaku akan menghabiskan pergantian tahun di Tibet,” jelas Laura dengan mata berbinar.
“Wow―negeri beratap awan. Aku ingin melihat foto-fotomu nanti,” ujar Kilian penuh semangat.
“Tentu.”
Mereka kemudian menumpang taksi menuju Virginia Avenue.
“Kenapa kamu tidak ikut saja bersama kami? Ayahku pasti tidak akan keberatan. Kamu juga bisa berkunjung ke New York. Natalmu akan lebih berkesan bila dirayakan di kota yang berbeda. Bagaimana?”
“Tawaran yang menarik, Laura. Tapi, terus terang, aku tidak bisa. Aku akan menunggu kamu dan ceritamu di sini saja,” kata Kilian. Wajah ceria Laura berubah menjadi kecewa. Dan Kilian merasa kasihan pada gadis itu. Buru-buru dia meralatnya. “Mungkin, akan kupertimbangkan malam ini. Besok akan aku kabari kamu,” ujar Kilian. Senyum ceria Laura kembali tersungging. “Aku akan menunggu telepon darimu,” sahutnya.
Kilian tidak menjawab. Dia justru menyesal dengan kata-katanya. Seharusnya dia tidak menjanjikan apa pun pada Laura.
Kira-kira dua bulan yang lalu mereka bertemu. Laura adalah gadis pindahan di sekolah mereka. Kilian jarang memperdulikan gadis-gadis di sekolahnya, tetapi Laura berbeda. Dia gadis yang pemberani, ceria dan blak-blakan. Meski Kilian sering mengacuhkannya, tapi Laura tidak sungkan untuk terus mengajaknya bicara. Sampai akhirnya Kilian pun menyerah dan berteman dengan gadis itu.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama di sekolah. Tapi pertemanan mereka hanya sebatas lingkungan sekolah, tidak ada pertemuan di luar. Ini pertama kalinya, mereka bertemu di luar. Setiap kali Laura mengajaknya pergi, Kilian selalu menolak. Dia selalu menemukan alasan yang membuat Laura bisa menerima keinginannya tanpa bertanya.
Selama mengenal Laura, Kilian harus mengakui kalau sosok Laura telah menarik hatinya. Laura adalah gadis yang cantik. Dia memiliki mata biru yang indah dan rambut pirang bergelombang yang membuat gadis itu terlihat seksi. Meski Laura termasuk gadis yang ceria, tapi dibalik keceriaannya, sesungguhnya Laura adalah gadis yang kesepian. Terlahir sebagai anak tunggal dari seorang bankir tersohor membuat hidupnya sepi. Orang tuanya terlalu sibuk dan membiarkan dirinya mengatur kehidupannya sendiri.
Melihat Kilian terdiam, Laura juga ikut terdiam. Dia tidak berani mendesak Kilian. Dia harus menunggu telepon dari Kilian. Seperti selama ini yang dia lakukan. Kilian akan meneleponnya bila ada keperluan. Dan selama liburan natal, Kilian baru menelepon sekali. Kesempatan itu Laura gunakan untuk mengajaknya makan malam di luar. Untung saja alasannya kali ini bisa diterima Kilian. Laura hampir frustasi mengajak Kilian untuk bertemu di luar. Di sekolah dia merasa kedekatan mereka terbatas. Padahal Laura ingin hubungan mereka berkembang. Kilian pemuda yang tampan dan cerdas. Naif sekali kalau Laura tidak menginginkan pemuda itu untuk dirinya. Dari sekian banyak gadis di sekolahnya, hanya dia – gadis satu-satunya yang bisa mendapatkan perhatian Kilian.
Tepat di sebuah pertigaan, antara Todd Road dan Virginia Avenue, tak jauh dari sebuah papan merah yang bertuliskan bank WELLS FARGO, taksi mereka berhenti. “Ini restorannya?” kata Kilian saat mereka telah keluar dari taksi. Laura mengangguk. Kilian memandang sejenak papan nama restoran Italia–La Travola yang berada di seberangnya. Mereka kemudian menyeberangi jalan menuju restoran tersebut.
Saat masuk, mereka disambut seorang pelayan yang kemudian mengantar menuju meja pesanan. Restoran itu memiliki beberapa spot nongkrong, yaitu bar untuk penikmat wine, meja sudut dan patio yang terbuka. Keduanya memilih di patio terbuka dengan pemandangan ke parkiran belakang. Mereka duduk berhadapan dan kemudian memesan menu malam itu. Setelah pelayan itu pergi, Kilian merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan sebuah buku.
“Ini buku yang kujanjikan,” kata Kilian sembari menyerahkannya pada Laura. Gadis itu buru-buru menerima novel berjudul The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery.
“Terima kasih. Akhirnya aku bisa membacanya,” sahut Laura gembira. Kilian tersenyum melihat keceriaan Laura.
“Apa yang menarik dari novel ini?” tanya Kilian menyelidiki. Dia penasaran karena Laura terus mendesaknya untuk meminjamkan buku itu padanya.
“Kisahnya. Aku dengar ceritanya tentang kisah hidup penulisnya sendiri.”
“Maksudmu?”
“Antoine, penulis novel ini, adalah seorang pilot. Pada tahun 1944, dia menghilang dalam penerbangannya dari Corsica. Banyak tulisan yang menyatakan pesawatnya ditembak jatuh, tapi semua dugaan itu tidak bisa dibuktikan, karena mayatnya tidak ditemukan dan keberadaan pesawatnya juga tidak diketahui. Dan setelah enam puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2004, angkatan laut Prancis menemukan puing-puing pesawat Antoine, hanya anehnya, dari hasil investigasinya, tidak ditemukan lubang atau tanda pesawat itu ditembak. Berdasarkan temuan itu, kepergian Antoine masih dinyatakan belum terpecahkan. Hingga kini. Dia menghilang begitu saja, sama seperti kisah Little Prince dalam novel ini. Tidakkah itu menjadi misteri tersendiri dari novel ini?” kata Laura dengan mata membesar
“Begitu ya,” kata Kilian sedikit termenung. Kisah Antoine lebih mirip kisah yang dialami ibunya. Hingga kini dia tidak tahu apa yang terjadi pada ibunya setelah kecelakaan pesawat dulu.
“Kamu tak tahu hal ini?”