Di kawasan Candler Park, salah satu rumah bergaya Victorian terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Sementara rumah-rumah di sekitarnya terlihat hidup oleh suasana Natal. Lampu-lampu cantik menghiasi pekarangan dan atap rumah mereka. Dari balik tirai jendela tampak juga pohon natal.
Sementara di luar sana terlihat sepi. Orang-orang lebih memilih berdiam dalam rumah, menghindari udara yang dingin. Tak banyak kendaraan yang terparkir di sepanjang jalan perumahan itu. Tak lama berselang, sebuah mobil Mercedes-Benz memasuki halaman rumah sepi tersebut dan berhenti tepat di depan garasi. Sepasang mata cokelat mengintip dari balik jendela di lantai dua.
Syukurlah, Fernando sudah kembali, batin Kilian saat melihat Fernando kembali. Bergegas dia keluar dari kamarnya dan turun ke bawah.
Fernando terlihat muncul dari pintu dapur. “Sudah pulang?” kata Kilian menyambutnya.
“Bocah nakal!” Fernando bergegas menghampiri Kilian dan mengetuk kepalanya. “Kamu hampir saja tertangkap!” kata Fernando marah. Wajahnya tampak tegang. Kilian meringis sembari mengusap bagian kepala yang diketok pengasuhnya.
“Maafkan aku, keluar tanpa memberitahu kamu,” katanya dengan rasa bersalah.
“Aku memintamu diam di rumah, bukan ke mana-mana!” suara Fernando meninggi.
“Aku tadi menemui seorang teman sebentar,” jelas Kilian cepat.
“Sebentar bagimu, sebuah peluang bagi Insiders. Berapa kali sudah kukatakan, jangan menemui siapa pun di luar sekolah. Bila jejakmu tertinggal di banyak tempat umum mereka bisa menyimpulkan keberadaanmu,” kata Fernando dengan wajah putus asa.
“Maafkan aku,” kata Kilian masih merasa bersalah.
“Kita harus pindah sekarang,” kata Fernando. Kilian mengangguk, mengerti. “Bereskan barang-barangmu!”
“Baik,” sahut Kilian cepat. Dia meraih tangan Fernando dan menciumnya sekilas. Dia tidak melupakan kewajiban itu meski terjeda dengan amarah Fernando. Sebagai orang Timur, Fernando selalu mengajarkan kebiasaan Timur pada Kilian, termasuk menyalami tangan orang tua atau yang dihormati.
“Dibanding kota-kota yang lain, di sini–tempat yang paling lama kita tinggali,” kata Fernando sebelum Kilian beranjak. “Sepuluh bulan adalah rekor terpanjang kita. Jika saja Insiders tidak menemukan jejakmu di sini, kita bisa tinggal lebih lama dan kamu bisa menyelesaikan sekolahmu.”
Kilian memandangnya dengan perasaan bersalah. Fernando telah melakukan apa pun agar dia bisa hidup tenang dan bersekolah. Dua belas tahun pria itu merawatnya, membesarkannya dan menemaninya dan tidak pernah sekalipun dia mengeluhkan keadaan mereka.
“Mungkin kita tidak bisa merayakan Natal di sini,” kata Fernando lagi. Kilian mengangguk cepat. Sedikitpun dia tidak kecewa.
“Aku mengerti,” katanya sungguh-sungguh.
“Apa kamu sudah makan?” tanya Fernando.
“Belum.” Dia tidak menghabiskan makan malamnya saat bersama Laura. “Papa mau kubuatkan sesuatu.”
“Tidak usah. Aku hanya akan ngopi sebentar. Kamu makan saja sendiri.”
Kilian mengangguk. Kemudian dia pergi ke lemari pendingin mengambil susu dan sereal untuk makan malamnya. Sembari menuang sereal ke mangkuk, Kilian melamun sejenak. Andaikan mereka bisa tinggal lebih lama lagi. Sudah tak terbilang berapa kali mereka harus berpindah, dari kota besar hingga kota kecil. Atlanta adalah kota yang paling lama mereka tempati, karena itu dia bisa kembali bersekolah dan memiliki teman. Dia tidak ingin pindah, tapi mereka tidak punya pilihan. Keselamatannya menjadi nomor satu. Mereka harus segera pergi dari sana sebelum Insiders muncul lagi.
“Ada kabar dari Papi?” tanya Kilian tiba-tiba sambil menuangkan susu ke dalam mangkuk yang berisi Koko Crunch. Fernando tidak langsung menjawab. Matanya tertuju pada makan malam Kilian.
“Makanlah sesuatu yang lebih berat. Tubuhmu sedang membutuhkannya untuk pertumbuhan,” komentar Fernando, mencemaskan pertumbuhan Kilian.