Seekor anak anjing tampak ketakutan, berlarian dan menggonggong dari balik pagar. Panik, setelah melihatku menendang kepala seekor kucing yang menghalangi jalan. Kucing itu terdiam kaku setelah aku menginjak kakinya.
Matahari musim panas yang terik membuatku mendongak, lalu melihat kembali pada kucing dan anjing itu. Sial! Apa yang sudah kulakukan? Seperti memakan sepotong coklat, rasanya ingin merasakan lagi dan lagi.
"Hei, Nak! Ada apa di sana?"
Wanita bertubuh gempal keluar dari dalam rumah. Itu pasti karena anjing sialan yang tidak berhenti menggonggong. Aku segera mengambil kucing itu, membawanya begitu saja menggunakan tangan kosong.
Seharusnya pagi tadi aku sudah sampai di Bukit Treem–bukit yang terletak di desa terpencil di pinggiran Canada–untuk mengubur mayat Lusia Robin yang kubunuh dua hari yang lalu.
Aku tidak sengaja membunuh wanita tua itu, dia melecehkanku saat mencari temanku Risa Samarta yang hilang ketika melakukan penelitian jual beli hewan langka ilegal, yang katanya bermarkas di utara bukit Treem. Aku memukul kepalanya menggunakan balok kayu, lalu mendorongnya ke jurang. Tidak terlalu dalam hingga aku bisa mengambilnya dan menyembunyikannya di semak-semak di bawah pohon pinus.
Tapi sial, aku tidak bisa menguburnya hari ini karena Ibu menyuruhku pergi ke rumah Paman Smith untuk mengantar sweater rajut. Hadiah yang kami berikan setiap tahun ketika musim dingin akan datang. Sebenarnya musim dingin masih beberapa bulan lagi, tetapi Ibu membuatnya sekarang karena kami berencana pindah ke USA bulan depan.
Terlepas dari tugas yang Ibu berikan, yang harus kupikirkan sekarang adalah kucing ini. Tanpa mempedulikan sekitar, kuletakkan kucing itu di semak-semak. Aku tidak bisa membawanya pulang ataupun menguburnya, tidak ada waktu untuk mengurusnya.
Sebelum senja, aku harus sudah sampai di rumah dan segera pergi ke Bukit Treem sebelum gelap. Tidak peduli akan hilang seperti Risa. Mayat si Tua Bangka Lusia itu, aku harus menguburnya sebelum seseorang menemukannya.
"Hei, bocah sialan! Kenapa jalan cepat sekali? apa yang kau sembunyikan?!"
Suara itu ....
Sheia, jangan menoleh. Jangan menoleh. Ayo berjalan lebih cepat lagi!
Tanpa sadar, aku sedikit berlari sambil terus meyakinkan diri agar tidak menoleh, bocah neraka itu akan menggila jika aku meladeninya.
"Sheia Pristine!" teriaknya melengking, persis seperti pekikan Lusia Robin saat aku mendorongnya ke jurang.
Sialan! Wanita tua itu benar-benar menghantui pikiranku. Bukan hanya suaranya, kadang wajahnya seperti berkeliaran di depan wajahku. Apa seperti ini rasanya menjadi seorang pembunuh? Dihantui rasa bersalah walau sama sekali tidak merasa takut?
"Sheia!"
Lagi, aku mendengarnya lagi. Kali ini terdengar dekat di telinga. Aku tidak bisa membedakan apa itu suara Lusia atau suara Monica Lim, si Bocah Neraka yang selalu menindasku.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanyanya. Bisa kurasakan dia menyentuh pundakku.
Bagaimana bisa? Bukankah aku sedang berlari? Akan tetapi, kenapa kakiku seperti tidak bergerak, dan udara di sekitarku seperti kosong.
Hah ...
Hah ...
Hah …
Kuhirup udara dengan rakus. Ke mana udara-udara itu pergi? Leherku seperti tercekik, kurasa badanku mulai limbung dan akan terjatuh.