Killa dan Adam

Nur Afriyanti
Chapter #16

15. Adam

Perang.

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepala Killa sejak cewek itu pulang dari sekolah. Parahnya, Adam malah tidak menjawab pertanyaan yang ia lontaran kala ia lagi-lagi bertanya.

"Nanti kepala lo pusing," ucap cowok itu.

"Gue penasaran jadinya malah, kan!" katanya sambil mencopot sepatutnya dan menaruhnya di rak.

"Tapi yaudah gue turutin kata Adam aja, deh. Dari pada gue gila," ucapnya kemudian. Rasa lelah berhasil membuat apa yang tadinya ia pikirkan hilang.

***

"Papa tuh egois." Adam mengatakan pada papanya yang berdiri di depannya berkali-kali.

"Papa bukan egois. Papa cuma mau yang terbaik buat kamu. Papa cuma mau kamu punya pekerjaan yang layak, supaya kamu nggak kesusahan nantinya."

"Tapi aku punya hak buat nentuin mau jadi apa aku ini, Pa."

"Saya ini orang tua kamu, Adam. Orang yang udah ngerawat kamu dari kamu lahir, yang merawat kamu sehingga kamu jadi sebesar ini. Saya orang tua kamu, apa kamu mau jadi anak durhaka? Ngelawan keinginan orang tua?!"

"Aku bukan mau jadi anak durhaka. Tapi aku cuma menyerukan keinginanku. Karena nanti yang ngejalanin ini semua ini aku! Aku, Pa! Papa bilang ini buat masa depan aku, tapi aku punya hak untuk menentukan jadi apa aku nanti. Pa, tolong buka hati nurani papa, Naila sampe mengorbankan dirinya karena dia memperjuangkan keinginannya. Pa, tolong buka hati nurani papa, tolong ngertiin keinginan aku."

"Nggak."

"Pa!"

"Nggak, Adam!"

Adam merasakan lukanya terbuka semakin lebar. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Apa yang harus ia lakukan? Ia menoleh pada mamanya yang berdiri di sampingnya. Meminta dengan sorot matanya, berharap wanita itu mau mengerti keinginannya.

"Turuti apa kata papa kamu, Adam," ujar wanita itu.

"Nggak akan!" Adam marah semarah-marahnya. Hatinya sakit, sangat sakit. Bahkan dengan kematian Naila pun, belum bisa membuat kedua orang tuanya berubah pikiran.

"Inget ini, baik-baik ma, pa, aku cinta dunia musik secinta aku sama kalian, sama orang-orang yang aku sayangi. Aku bukannya melawan kalian, tapi aku cuma ingin kalian tau, aku punya cita-cita, keinginan sendiri untuk jadi apa aku nanti," katanya sambil menatap mata kedua orang tuanya bergantian.

"Itu keinginan kamu? Kalo begitu kamu tidak saya anggap anak lagi. Kamu mau?" Pertanyaan itu membuat Adam kehilangan kata. Ia tak menyangka. Se-egois itu orang tuanya.

"Baik," kata Adam. Karena baginya, menyerah tidak ada dalam kamus hidupnya. Perjuangan yang ia lakukan terlalu banyak. Mungkin, memang ini jalannya.

Perang yang ia lakukan dengan kedua orang tuanya beberapa hari ini tak menghasilkan apapun. Tak ada yang berubah. Dan kini malah menjadi semakin parah.

Ini masalah yang ia pikirkan sewaktu acara ultah sekolah kemarin. Ia sedih. Sedih karena tidak bisa membuat Naila yang telah berpulang senang karena berhasil membuat kedua orang tuanya menuruti keinginannya.

Ia sedih, karena hatinya dan hati orang tuanya tak bisa menyatu untuk memutuskan suatu perkara.

Ia sedih. Ia sedih karena harus menentang kedua orang tuanya.

Adam berbalik, dan berjalan keluar dari rumah kedua orang tuanya.

Dengan hati remuk redam, dan luka besar di dadanya yang teramat sakit.

***

Di dalam kontraknya, Adam mengulang-ulang kembali kalimat neneknya.

"Nenek akan selalu dukung kamu, Adam. Nenek yang akan mendukung kamu sampai kamu menjadi orang yang kamu inginkan."

Adam melempar gitar yang ada di sebelehnya ke dinding. Hatinya panas, ia merasa marah. Salahkan ia mempunyai sebuah cita-cita?

Adam berdiri, dan berjalan ke depan jendela, berharap angin malam dapat membuat hatinya tenang. Ia mendesah frustrasi karena dadanya terasa amat sesak.

Adam merenggut rambutnya dengan kedua tangan, meninju tembok yang ada di depannya berkali-kali sampai tangannya berdarah. Berkali-kali dan berkali-kali berharap dengan itu rasa sesak di dadanya menghilang.

Tapi sayang, rasa sesak itu tak juga kunjung menghilang.

Adam menghela napas panjang. Ia melihat darah keluar dari buku-buku jarinya. Perih, sakit.

Ia menutup jendela kamarnya dan menarik gorden untuk menutupi kacanya. Dengan napas yang menderu, Adam berjalan ke meja belajarnya dan mengambil ponsel. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan memilih profil Killa di sana.

Ia menekan tombol telepon, tapi nomor cewek itu tidak aktif. Ia menekannya berkali-kali, berharap pemilik nomor tersebut segera aktif. Mood-nya hancur. Dengan emosi yang meledak-ledak ia terus menekan tombol telepon berkali-kali kendati nomor itu tidak juga aktif. Ia terus melakukannya dengan hati yang panas, lelah, dan frustasi.

"BANGSAT!" Adam membanting ponselnya sampai benda itu pecah menjadi benda yang tampak mengenaskan.

Emosinya kian memuncak. Ia melempar benda-benda yang ada di kamarnya mulai dari buku, alat-alat menulisnya, pajangan di meja, dan terakhir ia meninju cermin besar yang ada di sana sampai serpihan kacanya berguguran. Serpihan itu menancap di buku-buku jarinya, juga wajahnya. Membuatnya mengucurkan darah.

Adam terduduk di lantai dengan menundukkan wajahnya. Ia merasakannya ada yang mengalir dari pelipisnya, lalu mengalir lagi ke hidungnya.

Ia mengelap cairan berwarna merah itu dengan punggung tangannya yang juga berdarah akibat kaca yang menempel di sana. Alhasil, lukanya makin bertambah. Parah.

***

Mata Killa terbelalak kaget saat melihat begitu banyaknya telepon tak terjawab dari Adam di ponselnya. Dalam satu menit, cowok itu menelepon sebanyak sembilan puluh delapan kali. Telepon itu masuk pukul setengah dua belas malam. Yang saat itu dirinya sudah tertidur lelap.

"Ini Adam kenapa, ya?" Perasaannya menjadi tidak enak. Ia teringat kembali tentang keadaan Adam kemarin.

Dengan jari yang gemetar Killa menelepon cowok itu.

"Nggak aktif," katanya pelan. Ia menghubunginya berkali-kali. Tapi nomor itu tak kunjung aktif juga.

Killa memutuskan untuk mengirim pesan.

Killa: Adam, ada apa?

     Adam?

      Dam?

      Dam, maaf ya nggak keangkat telponnya Gue udah tidur jam segitu.

      Adam!

      Dam!

      Ya, Adammmmmm......

Dan nomor itu pun belum aktif juga.

Killa melirik jam tangannya, sudah pukul setengah tujuh pagi. "Gue temuin di sekolah aja, deh," katanya.

***

"Pagi, Killa!"

Killa yang baru keluar dari mobilnya langsung disapa heboh oleh Nadia dan Lisa.

"Pagi!" serunya tak kalah heboh.

Killa menghampiri mereka yang berdiri berdampingan dengan membawa tas sekolah mereka dengan kedua tangan. "Yok, jalan," ajaknya.

"Yuks," balas keduanya.

Tiga cewek itu berjalan berdampingan. Killa memikirkan Adam. Apa sebenarnya yang terjadi dengan cowok itu? Banyaknya telepon yang masuk ke ponselnya tadi malam, menandakan bahwa ada sesuatu yang serius terjadi pada Adam. Karena sebelumnya, ia tak pernah melakukan itu.

Killa mengambil ponselnya dari saku celana. Memeriksa pesan yang tadi ia kirimkan. Belum terkirim juga. Nomor Adam belum aktif.

Lihat selengkapnya