Masih di posisi yang sama, yaitu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, ponsel Killa yang ia letakkan di sebelahnya berdering tanda ada telepon masuk. Adam meneleponnya. Killa tidak langsung mengangkatnya. Ia habis menangis tadi. Pasti suaranya masih serak.
Akhirnya telepon itu mati. Tapi beberapa detik kemudian berbunyi lagi. Dan Killa akhirnya mengangkatnya.
"Kill?" Sapa Adam di ujung sana. Terdengar suara cowok itu menghela napas pelan. "Lo nggak papa?" tanyanya.
Bukannya menjawab, Killa malah menggeleng. Yang tentu saja tidak dapat Adam lihat.
"Killa, lo nggak papa?" tanya Adam lagi.
"Nggak," kata Killa akhirnya. Oh, no. Suaranya terdengar sangat serak.
"Lo habis nangis, ya?"
"Nggak."
"Bohong."
Killa tidak menjawab.
"Jujur aja kenapa. Abis nangis, kan? Nangis gara-gara gue pindah sekolah? Takut kangen?"
"Apaan sih, Dam!"
"Kalo kangen bilang aja, kali." Terdengar Adam terkekeh di seberang sana.
"Nggak. Ge-er aja lo," kata Killa.
"Terus kenapa nangis?"
"Gue nggak nangis," ucapnya bohong.
"Terus kenapa suara lo serak-serak gitu?" Saat Killa tidak menjawab ia bertanya lagi. "Nah, kan. Nggak bisa jawab. Namanya juga orang bohong."
Killa menggeram dalam hati. Jengkel karena Adam malah berkata begitu.
Lalu yang Killa dengar setelahnya adalah embusan napas Adam yang berirama beraturan. Killa diam dan Adam juga diam. Hening melingkupi keduanya.
Adam menunggu cewek di seberang telepon itu bersuara. Menunggu dia berkata apa yang sebenarnya hatinya rasakan. Namun, Killa tak juga membuka suaranya. Yang terdengar di telinga Adam hanya embusa napasnya.
"Lo tau nggak?" tanya Adam akhirnya. Sepertinya Killa memang sedang tak mau membuka mulut kali itu.
"Apa?" tanya Killa.
"Gue yakin lo sedih gara-gara gue pindah. Eh, tunggu. Jangan marah dulu. Karena gue juga. Kita sama. Sama-sama sedih."
Killa tertawa mendengarnya.
"Kalo nanti kangen bilang aja. Nggak usah dipendem-pendem," kata Adam saat tawa Killa sudah tidak terdengar di telinganya lagi.
"Terus kalo gue ngomong nanti bakal gimana?"
"Ya nanti kita buat rencana buat ketemuan."
"Nggak akan kangenlah gue."
"Bulshit tingkat Dewi."
"Apaan sih?"
"Ah, bukan apa-apa. Lo sekarang kok jadi cengeng ya, Killa? Dulu waktu pertama kenal sama gue perasaan nggak, deh. Ngeyel bin iseng gitu."
"Lo juga."
"Gue kenapa?"
"Ah, nggak."
"Jadi lebih perhatian dan bucin, ya?"
"Iya, kali."
"Nah, sekarang lo jadi jutek. Kenapa sih, Killa?"
"Kenapa? Nggak papa."
"Galau karena mau gue tinggal?"
"Nggak!"
"Nggak mau ngaku!"
"Bodo amat!"
"Gue ke rumah lo, deh."
Killa terkesiap mendengarnya.
"Nggak usah!"
Tidak ada jawaban dari Adam. Sambungan telepon mereka belum terputus. Tapi Adam tidak menjawab saat Killa panggil-panggil.
"Adam, nggak usah ke sini! Mau ngapain juga?! Jugaan udah malem! Udah jam delapan! Dam!"
"Bodo amat." Lalu sambungan telepon diputus oleh Adam.
Killa memandangi layar ponselnya. Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Adam mau ke sini? Mau ngapain, lah?! Aduhh... Kok Killa jadi deg-degan gini, ya? Biasanya juga B aja.
Killa mondar-mandir di kamarnya sambil menggigiti kuku jarinya. Ia mengambilnya ponselnya hendak menelpon Adam. Tapi nomor cowok itu tidak aktif.
Killa akhirnya duduk di ranjangnya. Ini kali ke dua Adam ke rumahnya. Tapi hari itu, ia dan Adam hendak mencari tempat untuk mereka latihan. Adam hanya sampai gerbang rumahnya. Seperti saat ia mengantarkan Killa.
Tapi kali ini kok rasanya beda, ya? Ia jadi deg-degan gitu karena Adam mau ke rumahnya. Dan btw, cowok itu mau ngapain, sih?
Jengkel, Killa menendang-nendang kakinya ke lantai.
Beberapa menit kemudian, saat Killa masih gelisah di tempatnya pintu kamarnya diketuk. Dan suara si Bibi memanggilnya.
"Killa, ada yang nyariin itu."
Dengan gemuruh di dadanya Killa berjalan ke pintu dan membukanya. "Siapa, Bi?"
"Katanya namanya Adam. Dia udah Bibi suruh ke ruang tamu. Sekarang ada di sana."
"Oke, deh. Aku ke sana," katanya kemudian berjalan ke tempat di mana Adam berada.
Sampai di tangga yang menghubungkannya dengan ruang tamu, Killa berhenti melangkah. Di sofa panjang yang ada di ruangan itu, Adam duduk dengan jaket hitam yang membungkus tubuhnya. Poni cowok itu menjuntai ke bawah dan menutupi sebelah matanya. Ia menunduk dan memandangi permukaan meja di depannya. Entah apa yang sedang cowok itu pandangi dan pikirkan.
Tiba-tiba Adam mengangkat kepalanya dan menatap Killa. Lekat. Membuat Killa salah tingkah.
"Ngapain sih, Dam?" Killa berusaha membuat mata Adam lepas memandanginya.
Tapi cowok itu tak menghiraukannya, yang membuat pipi Killa memanas.