Aroma tempe goreng menusuk dua lubang hidung dan membuat perut terasa lapar walau mata Larasati masih terpejam. Dingin masih tak mau beranjak dari ruangan ukuran 3x3 M. Namun Emak selalu mempunyai jurus yang jitu membangunkan Larasati yaitu dengan gorengan tempe yang dibumbui bawang putih dan garam. Hal itulah yang akan membawa Larasati menuju ke dapur walau ditengah mimpi indahnya. Tak lama muncullah Larasati dari belakang emak dengan stayle rambut acak adul tanpa permisi tangannya meraih tempe goreng tipis kriuk yang sudah nangkring manjah di atas saringan minyak. Tempe yang panas itu membuat mulutnya berkelok-kelok bagai jalan menuju Gunung Ijen. Emak yang hapal dengan kondisi itu hanya geleng-geleng kepala dan Larasati melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang tak jauh dari dapur sambil tangan kanan dan kirinya memegang tempe goreng yang masih panas walau mulutnya masih sibuk mengunyah.
Hari ini adalah hari selasa apapun yang terjadi dia harus beranjak untuk pergi sekolah. Perhatian Lee Yo Han tak juga meluluhkan hati Larsati untuk melukis kisah cinta bersama. Lee Yo Han tahu bahwa sesungguhnya Anitalah yang berharap namun hati tak mungkin bisa dibohongi karena Lee Yo Han cinta dengan Larasati. Lee Yo Han melihat Larasati bagai melihat momynya sebagai wanita tangguh dan mandiri itulah alasannya, mungkin Anita terlihat lebih cantik, staylish, dan primadona sekolah, bahkan Anita orang yang tak pernah absen membawakan Lee Yo Han sekotak kimchi. Tapi hal tersebut tak mampu meluluhkan hati Lee Yo Han. Seperti biasa angkot pak Pi'i langganan sudah menteloletkan klaksonnya agar Larasati bergegas. Rasa enggan masih saja menyelimuti.
30 menit gerbang sekolah tampak menyeramkan, sehingga saat Pak Pi'i berhenti didepan gerbang cukup lama terkendala oleh lamunan Larasati yang membuat Pak Pi'i melirik kaca spion depan.
" Eh byeng riko sekolah ta heng?" ( Eh nak kamu sekolah atau tidak ). Pak Pi'i membuyarkan lamunan Larasati yang kemudian membuatnyatergopoh-gopoh disusul lonceng masuk berdering nyaring. Pak Pi'i memang tak pernah menagih ongkos angkotnya karena semua itu dibayar bulanan oleh Emak beserta ongkos Emak saat belanja ke pasar Blambangan. Terkadang Pak Pi'i juga dipotong makan siang di warung emak. Ups... jadi nyeritain Pak Pi'i hihihihihi.
Larasati mulai mengurangi kecepatan langkah kakinya. Bagai kura-kura yang takut jika ada orang. Di depan pintu kelas dia keluar masuk keluar masuk ragu. Tapi kali ini dia harus menghadapi kenyataan karena Pak Imam Sapi'i guru matematika dan guru ter-mbois sudah ada dibelakang Larasati. Akhirnya Larasati langsung mengambil langkah cepat menuju bangkunya. Sambutan Anita yang melihat kedatangan Larasati pagi itu membuat dia merasa tak nyaman. Terlebih melihat wajah sumringah Anita yang sudah tidak sabar mendengarkan cerita dan misi kita di Ijen.
Larasati berusaha setenang mungkin menghadapi Anita disampingnya dan Lee Yo Han dibelakangnya, keduanya adalah alasan di hari senin Larasati memutuskan untuk sakit. Untung Pak Imam Safi'i meski seorang guru matematika yang Rock and Roll untuk urusan dikelas beliau akan berubah menjadi guru PPKN yang serius. Larasati tak kecolongan karena Pak Imam Safi'i kalo memberikan sanksi pasti gak tanggung-tanggung jadi lebih baik diam. Anita yang dari tadi gusar selalu mengganti posisi duduknya menunjukan bahwa hatinya mulai tak tenang. Kemudian Anita mengambil Bolpoin dan buku, diambilah halaman terakhir untuk menulis sesuatu agar obrolan mereka tak nampak oleh pak Imam.
"Ras gimana kemaren sabtu minggu di Ijen? Aman?" tulis Anita kemudian menyodorkan buku itu ke Larasati. Larasati melihat namun kedua bola matanya harus tetap waspada melihat papan tulis dan buku tulis. Larasati pun menjawab pertanyaan itu dengan tulisan juga.
"Aman" disertai gambaran smile dan kembali menggeser buku itu kesebelahnya.