Minggu pagi ini Larasati sudah sibuk di dapur sedangkan emak berbelanja di pasar. Setiap liburan Larasati tak perna mengeluh dia tetap membantu emak, karena emak selalu berpesan padanya untuk meneruskan warung ini selulus SMA. Emak bukannya tak ingin Larasati melanjutkan kuliah tapi karena keadaan emak dan apak tak mampu membiayai kuliah Larasati terlebih lagi harus diluar kota emak tak sanggup karena masih ada kedua adik laki-laki Larasati yang juga harus dibiayai. Emak berpikir Larasati adalah anak pertama dan perempuan satu-satunya. Perempuan itu akan tetap kembali kedapur buat apa sekolah jauh-jauh toh setelah lulus nanti Larasati yang akan meneruskan warung ini. Memang hasil dari warung juga tak banyak namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Larasati juga tak pernah protes dia nurut apa yang diminta emaknya. Dia mengerti sebagai kakak tertua dia juga punya tanggung jawab untuk menuntaskan kedua adik laki-laki.
Setelah menyapu lantai warung dan membersihkan meja-meja dengan kanebo basah Larasati kembali berkutat dengan bawang-bawangan beserta bumbu-bumbu lainnya. Terkadang dia menyeka keringat yang mengalir di kening dengan lengannya. Nasi yang dimasak dengan kayu bakar dan alat kukus tradisional membuat asapnya bagai mandi sauna. Larasati tak pantang menyerah walau keadaan dapurnya begini, dia tetap membersihkan aneka bawang dan cabai, ayam kampung yang telah dibersihkan dan dicuci kemudian di masak dalam panci dengan api kecil agar air kaldunya keluar sempurna. Sayur-mayur dia potong-potong dengan tangan supaya rasanya lebih sedap. Semua Larasati lakukan sebelum mentari menyapa.
Di tengah-tengah kesibukannya itu tiba-tiba sebuah mobil merah berhenti di depan warung. Padahal warung masih harus mempersiapkan segalanya dan belum usai namun sudah ada tamu yang akan datang. Suara menutup pintu mobil membuat Larasati beranjak melihat ke arah luar. Datanglah Anita yang melangkah menghampirinya. Larasati menyambut kedatangan Anita dengan senyuman. Tiba-tiba
" Prak!!..." handphone dengan keluaran terbaru, Anita banting di depan Larasati. Hal itu membuat Larasati terkejut dengan sikap Anita yang tiba-tiba marah. Dua bola mata Larasati kemudian melihat Handphone yang ada di lantai dengan layar yang hancur berantakan. Larasati meraihnya dan mencoba melihat ada gambar apa didalam sana. Betapa terkejutnya Larasati saat melihat foto-foto dirinya dan Lee Yo Han. Bibir Larasati seolah terkatup tak mampu bicara sepatah kata. Matanya mulai panas ada air yang siap jatuh mengalir di pipinya.
" Tega kamu Ras menghancurkan hatiku! " dengan suara yang bergetar. Larasati hanya mampu menatap wajah Anita dengan mata bengkak. Tangis Anita tak bisa berhenti mungkin kali ini kecawanya begitu dalam. Anita membalikkan badannya dan pergi tanpa membawa lagi handphone yang hancur berantakan ini. Emak yang baru datang dengan kedua tangannya penuh barang belanjaan. Ternganga saat melihat Anita pergi dengan tangis tanpa pamit dengan emak. Emakpun merasa aneh namun tak berpikir panjang. Emak terus menuju dapur dan menempatkan belanjaannya di sebuah tempat tidur tanpa kasur, hanya kayu-kayu sebagai penyangga. Emakpun duduk sambil memilah-milah barang belanjaan kemudian bercerita sedikit tentang hal-hal yang beliau temui di pasar.
" Yehhhh byeng.... weroh barang-barang podo mundyak kabeh, biyuh-biyuh ngelau gedigi terus" (Yehhhh nak.... tahu nggak barang-barang semua harganya pada naik, pusing kalo begini terus). Tapi obrolan emak tak mendapat tanggapan dari Larasati yang terus fokus mengupas bawang merah.
"Byeng... byeng.... heng kerungau ta?" (nak... naak... gak dengerkah?) tanya emak memastikan dan berjalan melihat anaknya yang tertunduk dan sesekali mengusap matanya. Emak bingung Larasati terlihat menangis, namun menangis karena apa? apakah karena mengupas bawang merah atau yang lainnya. Tapi hati emak tahu jika anaknya sedang sedih.
"Upuwo byeng?" ( Kenapa nak?) tanya emak sedikit cemas.
Larasati hanya menggelengkan kepalanya dan lari menuju kamarnya sambil terus terisak. Dia mengambil Handphone dan menuliskan pesan di nomor dengan gambaar profil Lee Yo Han.
" Kita haarus ketemu nanti sore jemput aku pukul tiga sore". Pesan singkat itupun dikirim.
Diseberang sana Lee Yo Han tersenyum membacanya dan membalas pesan itu.