Kin dan Mara

kearaami
Chapter #1

Chapter 1 : Plan A

   Matahari baru saja menyemburatkan cahayanya, namun gadis itu sudah berkutat di belakang komputer, memantau laporan keuangan perusahaan. Beberapa jam sebelumnya, tepat pada pukul 2 dini hari, tiba - tiba ia mendapat panggilan mendadak mengenai kesalahan pada rekapan keuangan bulan Mei dan tentunya siapa lagi yang bisa disalahkan selain Mara Dierja Soerjawidjaja, manajer keuangan termuda di perusahaan Fin Corp. 

Selama 3 jam penuh, ia hanya bisa memandangi laporan keuangan di depan matanya sambil menggeram frustasi setiap menit karena tidak bisa menemukan kesalahan pada laporan tersebut. Panggilan kerja mendadak seperti inilah yang kadang membuat Mara menyesali keputusannya untuk hidup “mandiri”. Seperti semua orang ketahui, Soerjawidjaja merupakan salah satu keluarga pionir di bidang perindustrian; dan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa siapapun yang menyandang nama Soerjawidjaja pasti lahir dengan sendok emas di mulut. Stereotipe tersebut berlaku pada Mara, anak bungsu dari penerus utama keluarga Soerjawidjaja. Kehidupan seperti berjemur di atas yacht pribadi keluarga Tova sambil mengangkat gelas champagne adalah kehidupan yang Mara tinggalkan semenjak 2 tahun silam. Berbeda dari saudara - saudaranya, Mara menganut prinsip bahwa hidup akan lebih menyenangkan jika penuh tantangan, dan tantangan adalah salah satu hal yang tidak bisa keluarga Soerjawidjaja berikan. 

Mara menggelengkan kepalanya, mencoba untuk kembali fokus ke pekerjaan yang harus ia selesaikan esok hari. Tanpa disadarinya, lantai dimana Mara bekerja sudah mulai terisi oleh pekerja - pekerja lain karena waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tiba - tiba, seseorang mengetuk ruang kerja Mara dan bahkan sebelum Mara mengizinkan masuk, pintu ruang kerjanya sudah terpampang lebar. 

Morning, Bu Mara,” ucap Faisal sambil berusaha menahan tawa saat melihat tampilan Mara yang sudah amburadul. “Serius banget nih elo keliatannya.”

Menanggapi komentar Faisal, kolega kerjanya selama setahun terakhir, Mara hanya bisa berdecak malas, “Rese ya elo, Fai, kadang - kadang.” Faisal yang mendengar respon Mara tak kuat menahan letupan tawa yang sudah ia tahan - tahan sedari tadi. 

Sorry, sorry. Kadang gue juga suka heran kenapa elo mulu yang dipanggil Pak Sena buat ngurusin masalah laporan. Demen kali dia sama elo,” ceplos Faisal, “Masih muda loh, Mar, good looking pula. A pretty good candidate lah ya buat Soerjawidjaja.” 

“Elo juga bakal ganteng kok,” ucap Mara sambil tersenyum sarkas, “Kalau lo mingkem.” 

Tak kuat mendengar celotehan Faisal sebagai pengawal hari, Mara bergegas keluar dari ruangan kerjanya dan pergi ke dapur untuk menyeduh segelas kopi. Saat ia sedang menyeduh kopi, suatu obrolan yang sedang terjadi di depan dapur menangkap perhatiannya. 

“Gue baru aja sampe kantor tadi pagi, tiba - tiba gue udah liat Bu Mara di ruang kerjanya. Gila banget kan.” Salah satu anak buahnya berkata, cukup lantang sehingga Mara bisa mendengar dari dalam dapur.

“Jujur nggak heran sih gue. Soalnya…. tau nggak, katanya sebenarnya Pak Sena gasuka sama Bu Mara. Denger - denger sih, Bu Mara jadi kepala divisi juga karena dibantuin keluarga konglo nya itu loh. Mungkin itu alasannya kenapa Bu Mara suka dibabuiin Pak Sena buat urusan mendadak,” ucap pegawai lain sambil terkikik - kikik. 

Semakin lama percakapannya, semakin aneh pula gunjingan pegawainya mengenai “Bu Mara dan keluarga konglonya”. Mara tak habis pikir dengan pikiran - pikiran sempit orang - orang, yang dianggap sangat menggelikan baginya. Walau begitu, bisa dibilang Mara sudah terbiasa dengan berita simpang siur tentang dirinya. 

“Pagi,” sapa Mara sambil tersenyum kecil ke pegawai - pegawai yang tengah bergunjing itu saat ia keluar dari dapur. Sapaan singkat darinya berhasil membuat mulut ketiga pegawai itu ternganga lebar, tak habis pikir bahwa orang yang tengah mereka bicarakan ada di dekat mereka selama ini. Sebesar apapun Mara ingin melepaskan pengaruh Soerjawidjaja di dirinya, tak akan melepas fakta bahwa ia dibesarkan oleh keluarganya; dan, semakin besar semakin ia mempelajari pula bahwa ia tidak boleh membiarkan orang merendahkannya dan jika ada yang bermasalah dengan keluarganya, always put them in their place. Itulah kalimat yang dilontarkan Kevlar, kakak sulungnya, yang selalu Mara ingat sampai sekarang. 

Senyuman tanda kepuasan terlukis di wajah Mara saat melihat ekspresi karyawan - karyawannya itu. Tak menggubrisnya lebih lanjut, Mara kembali ke ruang kerjanya dan seketika ia mendapati 10 panggilan tak terjawab di ponselnya. 

Astaga. Mara menepuk pelan kepalanya saat ia menyadari bahwa ia sudah telat ke acara keluarganya yang memang dilakukan setiap seminggu sebelum acara annual fundraising oleh Soerjawidjaja. Pasti inilah alasan mengapa sepupu nya, Zanine Gianina, tak henti - hentinya menelpon ponsel Mara. Dalam satu gerakan cepat, Mara mengambil tas dan ponselnya lalu segera keluar dari kantornya. Baru saja ia masuk ke dalam mobil, ponselnya kembali mendering dan nama Zanine terpampang di layar ponselnya. 

Baru saja Mara menarik napas nya sebelum mengeluarkan kata - kata, suara Zanine sudah terdengar lantang di ujung saluran telepon lainnya. “Babeee, where are you? Elo nggak lupa kan kalau we are supposed to meet di rumah nenek Anneke hari ini.” 

Lihat selengkapnya