Waktu berjalan cepat dan sekarang Mara sudah mendapati dirinya menunggu Kevlar untuk menjemputnya. Mobil Porsche Cayman itu akhirnya muncul di depan apartment Mara, menunjukkan Kevlar di kursi pengemudi. Malam itu adalah malam dimana acara fundraising yang ditunggu - tunggu semua socialite di Jakarta diselenggarakan. Untuk bisa menaruh nama di guest list acara tersebut adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi para “commoner”. Tak heran pula mengapa semua “new rich” sangat mengincar undangan ke acara fundraising ini, karena bisa dikatakan bahwa semua orang penting akan menghadiri acara tersebut. Berada di fundraising tahunan Soerjawidjaja seperti sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
“Udah beres, Mar, kerjaannya?” Kevlar bertanya seiring ia mengendarai mobil keluaran 2017 itu melalui gemerlap jalanan Jakarta. Mara mengangguk pelan, menunjukkan tanda ketidak antusiasan dirinya untuk mengikuti acara - acara besar seperti ini. Lebih baik ia berkutat di ruang kerjanya sambil terus - menerus terkena omelan Sena dan ocehan Faisal, daripada harus secara sukarela menjadikan dirinya makanan untuk para tabloid.
Mara Dierja Soerjawidjaja, atau Mara Dierja saja? Begitu kira - kira judul yang terpikirkan oleh Mara yang nantinya akan menjadi headline tabloid, saat meliput dan mengambil potretnya di acara fundraising nanti. Memikirkan hal - hal seputar pers dan wartawan yang haus akan berita skandal hanya bisa membuat Mara menghela nafas panjang. Lebih parahnya lagi, ia akan bertemu saudara - saudaranya dari sisi Morello. Menurut Mara, keluarga Soerjawidjaja dan Morello seperti air dan api. Morello bukan api nya lagi, tapi iblisnya! begitu yang selalu Mara camkan di benaknya. Apalagi antara putra tertua dari sisi Soerjawidjaja dan dari sisi Morello. Augustin, ayah kandung Mara, dan Eros Morello, putra tertua dari Januar Morello. Kedua pihak ini sudah lama mengibarkan bendera merah ke satu sama lain, ditambah mereka berdua menikahi perempuan dari keluarga yang sama. Keluarga yang dianggap bangsawan berdarah Indonesia, keluarga Lituhayu. Pertarungan dua keluarga ini yang awalnya sudah buruk, kian bertambah saat Arabelle, ibunda Mara, menikahi Augustin; diikuti dengan Nerissa, kakak dari Arabelle, yang menikahi Eros. Komplikasi antar dua keluarga ini selalu membuat Mara, dan semua saudaranya, tak habis pikir.
Baru saja sampai di The Nusantara yaitu sebuah hotel bintang 5 di pusat kota, semua wartawan yang sedang menunggu di depan pintu masuk langsung menyadari mobil Kevlar yang berhenti di depan pintu hotel. Kilatan - kilatan kamera tak kunjung usai yang diarahkan ke dua saudara itu, dan sautan para wartawan makin menjadi seiring Kevlar dan Mara mendekati pintu masuk.
“Mengapa putri bungsu dari Augustin Soerjawidjaja terus disembunyikan dari pers?”
“Apakah benar anda, Kevlar, penerus SM Corp. selanjutnya?”
“Bagaimana tanggapan anda mengenai saudara anda, Andra, yang terlibat dengan skandal model di Paris?”
“Apakah tahun ini SM Corp akan terus berada di tangan Soerjawidjaja atau keluarga Morello akan mengambil alih?”
Pertanyaan - pertanyaan itu terus berdatangan, tak henti - hentinya, bahkan segala aspek dari kehidupan keluarga itu selalu dikupas tuntas oleh para wartawan. Sudah lumayan lama Mara tidak menginjakkan kaki di acara sebesar fundraising ini. Hal tersebut membuat dirinya lupa, seberapa tidak nyamannya berada di sorotan pers yang bahkan terlalu menganggap heboh kemunculan putri bungsu dari Augustin Soerjawidjaja dan Arabelle Litahayu.
Banyak tatapan yang tertuju ke arah Kevlar dan Mara, terutama ke arah Mara, saat mereka memasuki grand hall The Nusantara yang sudah dipenuhi oleh banyak tamu. Seperti biasa, keluarga Soerjawidjaja selalu mengoptimalkan sisi dekorasi dan estetika acara, agar selalu terlihat mewah. Dengan kata lain, “mencerminkan” keluarga Soerjawidjaja.
Sehari - hari, Mara memang memiliki poros yang menawan dikarenakan rambut coklat keemasannya dan sepasang mata berwarna coklat terang yang bisa membuat semua orang langsung terpikat padanya. Ditambah pada malam itu, Mara terbalut gaun dari desainer Oscar de La Renta yang dengan sempurna membentuk tubuh Mara. Tak heran jika penampilannya malam itu bahkan lebih menonjol daripada model - model ternama yang menghadiri acara. Tak heran juga jika semua pria tak kuasa untuk tidak menoleh ke arah Mara, karena aura yang biasanya tidak ia pancarkan sehari - harinya.
“Mar, kayaknya aku harus ketemu Dad dulu untuk bahas pembukaan nanti. Kamu nggak apa - apa sendiri dulu?” tanya Kevlar perlahan, takut adik satu - satunya ini enggan ditinggalkan olehnya. Kevlar sangat tahu seberapa Mara tidak menyukai acara - acara socialite besar seperti ini.
Mara yang tidak punya pilihan lain selain mengiyakan pun pasrah melihat Kevlar yang makin lama makin hilang ditelan oleh kerumunan. Akhirnya, ia mendapati dirinya duduk sendiri di bar sambil meneguk minuman yang terus disajikan oleh bartender. Terlalu banyak orang yang lalu lalang menempatkan Mara pada posisi sulit karena ia tidak dapat mengenali siapapun. Bahkan, ia tidak bisa mencari Kirana Tova, satu - satunya teman dekatnya diantara socialite Jakarta.
“Mara… ya?” Spontan Mara terkejut saat seseorang menepuk pundaknya. Mara tersenyum, menunjukkan formalitas, disaat ia sendiri tidak mengetahui siapa laki - laki yang sedang berdiri di depannya.
“Cantik ya, sayang sekali Augustin jarang bercerita tentang kamu di sela - sela meeting.” Mara hanya bisa tersenyum canggung seraya mengucapkan terimakasih, padahal dirinya terbelalak kaget dalam hati. Tipe - tipe pria seperti inilah yang suka membuat perut Mara terkocok geli karena perbuatan menjijikan yang diperbuatnya.
“Lain kali, mau menemani saya saat afternoon cocktail? Biasanya saya ada di Potters, atau di Ruth’s.” Lelaki itu berkata sambil menyodorkan business card miliknya. Disitu tertera nama Tama Sanjaya, pemilik dari Sanjaya Foundation. Mara pernah sesekali mendengar rumor mengenai penerus muda dari Sanjaya Foundation, yang dikabarkan sebagai womanizer ulung. Ia dikabarkan selalu berhasil menggaet wanita sosialita muda yang buta mengenai ganasnya kehidupan “upper-rich”.
“Tama, Tama… Kau yakin dengan yang satu ini? Bukankah banyak yang lebih baik?” Seketika Mara merasakan seseorang sudah melingkarkan tangannya di pinggangnya yang ramping itu. Terkejut akan gerakan mendadak itu, Mara mencoba melepas dirinya dari rangkulan orang itu sebelum dirinya ditarik lebih erat lagi.
Azra. Mara berdengus kesal saat menyadari bahwa yang menghampirinya adalah saudaranya dari keluarga Morello. Si putra sulung Morello, orang yang paling Mara kesali di seluruh semesta. Tama yang awalnya menunjukkan muka “ramah”nya, tiba - tiba saja rahangnya mengeras seperti baru saja terlintas pikiran tentang Azra yang sangat menghantuinya.
“Sampai bertemu lagi, Mara.” ucap Tama tanpa menggubris keberadaan Azra. Dengan begitu, Tama segera meninggalkan bar dan Mara langsung menepis tangan Azra yang nampaknya sudah nyaman bertengger di pinggangnya..
Mara berdecak malas dan langsung melengos, enggan menatap langsung saudara “iblis”nya itu. “Gue bisa sendiri, Zra.”
Azra tersenyum puas melihat tindakannya barusan berhasil membuat Mara ingin mencabik - cabik dirinya sekarang juga. “Udah lama nggak ketemu ya? Mara…” Azra mencondongkan badannya ke arah Mara lalu berbisik pelan. Dengan cepat, Mara langsung mengambil beberapa langkah mundur, menjauhi dirinya dari orang aneh di depannya.
“Udah mau mati ya elo, Zra.”