“Halo?”
“Mara, astaga, aku udah nyoba nelfon berkali - kali. Kenapa baru diangkat sekarang hah?” ucap Kin gemas karena perilaku Mara. Baru beberapa jam mereka kembali berhubungan, dan sifat mereka sudah bertabrakan layaknya dua kubu medan magnet.
“Kin. Kenapa nelfon?” tanya Mara spontan, sedikit sebal karena ia sebenarnya sedang di tengah ke-hectic-an kantor. Entah ada berapa tumpuk berkas yang sekarang duduk manis diatas meja kerja Mara.
“Headline = The Soerjawidjajas has done it again. Isi berita = Putri bungsu Augustin Soerjawidjaja akhirnya menerima lamaran Kin Dhananjaya, setelah dikabarkan menolak lamaran darinya 2 tahun silam.” Kin berhenti untuk beberapa detik, sambil mengambil napas, “Kalimat penutup = Menjadi bagian dari keluarga Soerjawidjaja adalah sebuah tiket cepat menuju kesuksesan tanpa batas. Kin Dhananjaya sepertinya mengerti akan hal tersebut,”
Mara berusaha menahan tawa dari ujung saluran telepon lainnya, “Gue cantik nggak di cover majalahnya?”
Tut…
Tut…
Tut…
Panggilan langsung terputus sesaat setelah Mara mengucapkan kalimat tersebut. Mara bisa membayangkan seberapa geram wajah Kin sekarang, yang membuatnya terkikik - kikik. Namun, ia juga tak terlalu memperdulikannya. Yang terpenting, rencananya akhirnya mulai berjalan lancar.
-
Beberapa jam sebelumnya…
Pria itu baru saja melonggarkan dasi nya, sebelum tiba - tiba pintu masuk bercat hitam di depannya terbuka lebar dan menunjukkan wanita paruh baya di belakang pintu.
“Pak Dhananjaya, ya?” sebut wanita paruh baya di depannya itu.
Kin mengangguk sambil melangkah masuk ke dalam rumah semi modern di wilayah pusat ibukota. Lukisan - lukisan yang rata - rata memiliki aliran impresionisme terpampang rapi di sepanjang lorong, berpadu cantik dengan corak marble putih yang menghiasi rumah. Tidak banyak yang berubah dari rumah Anneke semenjak terakhir kali Kin menginjakkan kaki di rumah ini.
Dunia memang terlalu suka bercanda, batinnya. Dua tahun silam, di tempat yang sama, Kin ditolak habis - habisan oleh Mara, dan kejadian itu tentu mencoreng sedikit harga diri Kin yang konon tak pernah ditolak sekalipun oleh seorang perempuan. Namun sekarang, Kin mengetuk pintu paviliun Anneke, siap untuk bertemu Mara yang kemarin malam meminta Kin untuk menikahinya.
“Hey,” Seorang perempuan ramping, yang penampilannya bisa dibilang berubah 180 derajat dari kemarin malam, membukakan pintu paviliun untuk Kin. Rambut Mara yang hanya disanggul asal, membiarkan beberapa helai rambut jatuh mengikuti struktur wajahnya, bisa dibilang sangat berbeda dari kemarin malam. “Nenek dan Kakek masih di rumah utama, lalu Kevlar dan Papa juga masih di ruang kerja. Paling kita harus menunggu untuk beberapa waktu.”
Kin memicingkan kedua matanya, “Tunggu, tunggu. Kenapa aku harus bertemu Matteo dan Anneke juga? Mar, ini bukan pengumuman “pertunangan” kita ke keluargamu, kan?”
“Cepat atau lambat kan juga harus aku beritahu,” Mara menjawab, tak acuh. Padahal, di sisi lain, muka Kin sudah terbelalak kaget. Siapa sangka pertemuan pertama akan langsung mempublikasikan “pertunangan” mereka. Kin saja tidak mengetahui apa - apa tentang pernikahan mereka, bagaimana bisa dipublikasikan.
“Nggak, Mar.”
“Iya, Kin.”
“Nggak bisa gitu dong, Marrr…”
“Bisa, Kin.”
Tak henti - hentinya mereka berdua adu mulut, karena dua keinginan yang berbeda. Kin menggeram gemas karena sikap keras kepala Mara seperti batu. Hal apalagi yang harus Kin lakukan agar Mara bisa mempertimbangkan ulang keputusan gegabah ini. Kin sendiri sebenarnya tidak siap berada di cover segala jenis tabloid, yang meliput “pertunangan dadakan” Soerjawidjaja dan Dhananjaya.
Tindakan Kin yang tiba - tiba berhasil membuat Mara kaget. Seketika Kin memegang kedua pundak Mara dan menatapnya dalam, “Mar, jelasin dulu ya? Aku nggak bisa suka rela jadi santapan serigala tanpa tahu apa selera mereka dalam makanan,”
Seberapa pun sikap tak acuh Mara, ia mulai merasa iba dengan Kin yang tiba - tiba terseret arus drama keluarganya. Memang Kin butuh penjelasan, begitu pikir Mara, namun ia sendiri bingung harus menjelaskan dari mana. Metafora Kin juga masuk akal, karena ia mengetahui, semua konflik yang akan datang karena hal ini akan sangat mengguncang keluarganya.
“Kamu tahu persyaratan untuk mengambil warisan di keluarga ku?”
Kin menggeleng.
“Masing - masing berbeda, tapi aku sendiri nggak tahu apa syarat yang Kakek berikan ke saudaraku yang lain. Tiap saudaraku juga punya porsi warisan yang berbeda. Bahkan, Kevlar saja nggak pernah memberitahuku tentang syarat pengambilan warisan Kakek. Sedangkan kalau aku sendiri, Kakek dan Nenek tahu betul seberapa aku susah membuka diri ke strangers. Ya… mungkin karena itu juga mereka menyuruh aku untuk menikah sebelum bisa mengambil hak warisanku. Asal aku memenuhi syarat itu, walau Kakek dan Nenek belum tutup usia, aku bisa mengambilnya.”
Kin tertegun, keluarga ini memang sangat unik, begitu pikirnya. “Sejak kapan kamu peduli tentang wealth? Sejauh yang aku tahu, bukannya kamu lebih memilih lepas dari keluarga ini?”
“Realistis aja sih, Kin. Aku bukan kamu yang punya otak cemerlang untuk bisa bangun bisnis sendiri dari 0. Seberapa ingin aku melepas diri dari keluarga ku, juga pastinya aku butuh batu loncatan dari mereka,” ucap Mara terang - terangan, “Beruntung juga bagiku karena warisan yang Kakek berikan cukup untuk hidup sederhana seumur hidup.”
Kin mendengus, kata “sederhana” tidak pernah tercatat di kamus anggota keluarga Soerjawidjaja manapun. Bahkan berlaku untuk Mara sendiri. Sesederhana - sederhana nya Mara, ia akan tetap mengincar private collection Hermes, ataupun menggunakan koneksinya hanya untuk memesan kursi terdepan pada acara Broadway di New York tiap tahunnya. Kin tahu, sederhana nya seorang Soerjawidjaja itu tidak akan pernah sama dengan sederhana seorang Dhananjaya, yang sejak kecil hidup dengan biaya rata - rata.
“Kamu menyadari kan, kalau ini win - win solution untuk kita berdua. Aku akan membantu Dhananjaya dengan menjadi salah satu investor utama, setelah pernikahan kita nanti. Sebagai gantinya, kamu hanya perlu menjadi “suami” ku untuk 2 tahun, lalu kita akan bercerai karena ada “masalah komunikasi”. Gimana?” kata Mara, yang selalu mengutip dengan kedua jarinya tiap muncul kata yang menurutnya bersifat ambigu.
“Kalau nanti ditanya, kapan aku melamarmu? Gimana?”
“10 Agustus 2019, tanggalnya cantik.” Mara jawab dengan percaya diri.