“Aarghh!” Mara menggeram gemas sambil terus mengacak rambutnya yang sudah tak karuan. Selama 1 jam belakangan, Mara menghabiskan hari liburnya memikirkan kejadian di Potters seminggu lalu. Ia sudah berusaha melupakan kejadian itu dengan cara menenggelamkan diri dalam pekerjaan, namun tetap saja tidak bisa. Bagaimana tidak, cemoohan Azra sangat amat menggores harga diri Mara; dan Mara, dikenal sebagai orang yang memiliki pride tinggi yang bahkan sampai menjulang ke langit. Dirinya sudah berputar - putar mengelilingi apartemennya, bingung akan langkah selanjutnya yang harus ia lakukan. Sekarang, Mara seperti sedang berdiri di setapak tanah yang dikelilingi jurang. Satu kesalahan kecil saja bisa membuat semua rencana Mara hancur berkeping - keping di hadapannya. Pertemuan singkat kemarin dengan Azra membuat Mara, juga Azra, mengerti bahwa keduanya sudah mengibarkan bendera merah ke satu sama lain. Mara tidak akan pernah membiarkan Azra mengambil alih SM Corp, dan Azra sendiri pun tahu bahwa Mara tidak akan melepas SM Corp tanpa pertarungan yang sengit.
Tak tahu lagi ia harus bagaimana, Mara dengan cepat meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat ke Kirana. Daripada ia mati frustasi karena Azra, lebih baik Mara melepaskan penat dengan menghabiskan waktu dengan Kirana. Walau, menghabiskan waktu dengan Kirana bukannya hanya membunuh waktu namun juga membunuh tagihan kartu kredit Mara yang tiap hari kian menumpuk. Rasa - rasanya ia sudah bisa dikejar debt collector sebentar lagi. Ia memang layak mendapatkan days off dengan Kirana, sebelum nanti siang ia akan pergi ke rumahnya untuk mempertemukan Kin dan kedua orangtuanya. Lagi. Namun, kali ini tanpa Anneke dan Matteo, dan Arabelle kali ini ikut mendampingi suaminya untuk menemui Kin.
Meet me at the Square, xoxo. Itulah bunyi pesan singkat yang tertera di ponsel Mara yang berasal dari teman dekatnya itu. Sejujurnya, bukannya tidak nyaman dengan Kirana, namun jika tidak terlalu mendesak, Mara lebih baik menghabiskan waktu dengan temannya yang berada di luar circle keluarganya. Namun, berhubungan Mara sedang pusing 7 keliling karena si iblis Azra, ia memutuskan untuk pergi menemui Kirana. Siapa tahu ia bisa mendapat informasi - informasi singkat mengenai keluarga Morello.
Matahari pagi hari itu membuat pakaian yang sedang Mara gunakan menjadi lebih menakjubkan lagi. Sebuah penampakan yang langka jika melihat Mara menggunakan Chanel tweed skirt, yang ia padukan sempurna dengan blouse putih dari Giambattista Valli. Tentunya hal itu dipengaruhi karena ia harus dress to impress. Walau sifatnya sedikit unik, Mara selalu memperhatikan busana yang ia gunakan. Pergi ke Square, berarti Mara harus berpakaian selayaknya gadis - gadis sosialita yang ingin menghabiskan waktu brunch atau minum - minum cantik.
Tak menunggu lebih lama lagi, Mara segera memasuki mobilnya, bergegas menuju Square. Square sendiri mengangkat konsep Country Club namun di pusat kota dengan sentuhan modern, yang juga dilengkapi dengan golf course di tepi club. Untuk bisa menjadi pelanggan tetap di Square merupakan hal sulit karena mereka hanya terbuka untuk para anggota yang sudah menjadi langganan selama 2 tahun terakhir. Membership akan lebih mudah diraih pula jika rutin mengikuti event - event Square, seperti yang Kirana lakukan. Boro - boro Kirana setiap hari ke Square, jadwal dia saja sudah lebih padat daripada para menteri, batin Mara.
Tidak membutuhkan waktu lama sampai Mara melihat gerbang utama Square, yang memang tak jauh dari apartemennya. Setelah menitipkan kunci mobil di petugas valet, Mara bergegas masuk menuju bagian restoran Square dimana Kirana sudah menunggu. Disana, ia melihat temannya, terlihat mencolok –dalam artian baik – diantara semua pengunjung Square. Mara langsung melambaikan tangannya saat melihat Kirana, dan Kirana spontan tersenyum manis saat melihat temannya sedang berjalan menuju meja yang sedang ia tempati.
“Lama - lama ketemu elo during brunch atau lunch bisa jadi rutinitas nih,” canda Kirana, kembali duduk setelah memberi Mara pelukan hangat.
“Gue nya sih suka, Na. Dompet gue denger rutinitas brunch sama elo udah kalang kabut sendiri nih,” ucap Mara yang mengundang gelak tawa Kirana.
“Ugh, semua real commoner pasti udah kebakaran jenggot sekarang karena seorang Mara aja bisa komplain tentang uang.” Kirana mengedipkan sebelah matanya. Mara terkekeh mendengar jawaban Kirana. Bukan karena apa - apa, melainkan Mara tahu betul Kirana selalu berusaha menggoyah prinsip hidup “sederhana” nya tiap saat. Lucunya lagi, setiap Kirana berusaha menggoyah Mara, bahkan Kirana sendiri tahu kalau ia tidak akan pernah berhasil merubah pikiran Mara.
“Pertanyaan gue sebenarnya adalah, kenapa lo ngajak brunch out of nowhere deh Mar?” sambung Kirana, “Gue aja ngajak lo pergi susahnya minta ampun… Lah ini, tiba - tiba muncul, minta brunch sama gue. Udah nggak waras kali lo,”
Mara mengeluarkan tawa kecil, “Cuman lagi butuh suasan baru aja. Apalagi elo sumber gossip tentang sosialita Jakarta kan tuh,”
“Nggak level, dear. Level skandal gue sekarang udah tentang Jean Lopez kemarin passed out di dance floor Xander, Italy, yang katanya sih, karena dia lagi under the influence,” bisik Kirana, mengheboh - hebohkan cara pembawaan ceritanya.
Mara yang biasanya tidak tertarik dengan rumor mengenai model di negara luar, sekarang menunjukkan ketertarikan karena subjek yang dibahas adalah Jean Lopez. Jean yang sama dengan yang pernah mencoba mendekati Mara saat ia sedang berada di Paris beberapa saat lalu. “Serius elo? Gila banget… nggak heran sih gue. Perawakannya udah begitu,” ceplos Mara. “Tapi, yang bikin gue suka bingung, sebenarnya gue atau keluarga gue, atau bahkan keluarga “tetangga” gue itu sering jadi bahan rumor di Jakarta nggak sih?”
Mulut Kirana otomatis menganga lebar, tak percaya gadis di depannya ini sangat minim pengetahuannya seputar berita - berita eksklusif sosialita Jakarta. “Gosh, Mara… Bahkan keluarga elo sama Morello yang selalu ngasih asupan gossip ke kita - kita.” kata Kirana, “Apalagi sebentar lagi pergantian direksi SM Corp kan? Jamin deh, nggak bakal ada satupun berita yang nggak bakal bocor nanti. Elo siap - siap aja sih, Mar…”
Bingo.
“Nggak salah sih, Na. Takut aja sih gue, walaupun gue kayak nggak peduli, tapi pasti nggak sudi lah gue kalau Morello yang menang nanti,” ucap Mara dengan intonasi memelas, “Ikutan pusing gue, Na.”
Kirana terlihat ikut berpikir, seperti Mara yang sekarang sedang melamun sambil mengaduk asal ravioli di hadapannya. Seketika jantung Mara hampir turun ke perut saat Kirana melakukan berbicara spontan, “Kalau gue jadi elo ya Mar, gue sih bakal hancurin Morello pelan - pelan. Tau sendiri keluarga - keluarga besar macam kita ini kan pasti punya skeleton in their closet,” Mara pun hanya mengangguk - angguk tanda memahami, lalu ia larut kembali di pikirannya sendiri.
Sisa waktu mereka untuk bercengkrama tidak banyak karena jam sudah menunjukkan pukul 12 tepat. Mara yang mengetahui sebentar lagi ia harus beranjak pergi ke rumah karena ada pertemuan Kin dengan orang tuanya, segera berterima kasih ke Kirana karena sudah bertemu dan langsung pergi meninggalkan Square. Ia dan Kin sudah sepakat untuk langsung bertemu di rumahnya saja, daripada Kin harus menjemput Mara di Square. Wartawan yang bersembunyi di depan bangunan Square lebih ganas daripada seluruh tempat di Jakarta, sehingga Mara sendiri ogah mengambil resiko tertangkap kamera tanpa persiapan.
Baru saja Mara turun dari mobil menuju pintu, ia sudah melihat mobil Kin terparkir rapi di dekat pintu masuk. Dengan cepat Mara langsung menuju ke dalam, mencari Kin yang tampaknya sudah menunggu. Akhirnya, Mara menemukan Kin sedang duduk sila di ruang tamu sambil membaca majalah - majalah yang tersedia di meja ruang tamu Mara. Rumah Augustin dan Arabelle memang jauh berbeda dari rumah Anneke yang lebih mengangkat kesan glamor dan mencakup banyak tempat. Sedangkan, Augustin lebih memilih mengangkat konsep smart home untuk rumahnya, dengan aksen modern. Memang tak dapat dipungkiri rumah Mara sangat penuh oleh teknologi, yang bahkan Mara sendiri terkadang lupa bagaimana cara menggunakannya. Maklum, Mara tak pernah menyukai hal yang menyangkut tentang mengobrak - abrik suatu alat atau sistem.
“Kok nggak bilang kalau sudah sampai?” Mara menginterupsi kesunyian yang sudah Kin nikmati dari 15 menit lalu.
Kin perlahan menurunkan majalah agar ia bisa melihat sosok yang berbicara di depannya. “Nanti ganggu,”
Mara tersenyum simpul mendengar respon Kin, walau langsung ia tutupi dengan poker face andalannya. Beberapa waktu terlewati dengan keheningan karena Mara sendiri bingung harus memulai dengan topik apa.
“Nggak mau basa - basi apa gitu, Mar?” ceplos Kin, tak kuat dengan keheningan yang Mara ciptakan. Terlebih lagi, ia gemas melihat sikap Mara yang terlihat sangat sulit untuk membuka topik baru.
Mara yang tak menyangka ceplosan Kin, tak bisa menahan tawanya. “Lagi baca apa itu?” tanya Mara, mengatakan satu - satunya topik yang bisa ia pikirkan untuk dibicarakan dengan Kin.
Kin tersenyum lebar, menurunkan majalah yang dari tadi menghalangi wajahnya. “Gitu dong… Ini di majalah ada yang bahas tentang tempat - tempat baru di Zurich--”
Sebelum Kin melanjutkan kata - katanya, Mara langsung menyeletuk, “Oh iya, aku lupa dulu katanya kamu pernah tinggal di Zurich ya?”
Kin mengangguk.