19 September 2020,
Mara mengetuk - ngetuk meja dengan jemarinya yang lentik, bosan menunggu makanan yang tak kunjung dibawakan oleh Faisal, yang kebetulan sedang pergi mencari makan siang. Mara, yang sangat malas keluar dari kantornya karena ia masih menjadi sasaran empuk wartawan, memilih untuk menunggu di kantor saja. Daripada keesokannya Mara dicurigai mempunyai “simpanan”, lebih baik ia mati kelaparan saja.
Tepat setengah jam setelah Faisal turun mencari makan di sekitar kantornya, ia kembali sambil membawa dua - tidak, tidak - tiga mangkuk ramen yang aromanya bisa di cium dari kejauhan. Baru saja Mara tersenyum lebar karena melihat Faisal, lalu senyumnya langsung menjadi kecut saat melihat Sena mengarah ke ruang kerja nya juga.
Ya tuhan, mau makan sebentar, Pak!!! teriak Mara dalam hati, namun berusaha untuk tetap tersenyum.
Sena masuk terlebih dulu dari Faisal, dan bahkan sebelum Sena membuka mulutnya untuk berbicara, Mara langsung membuka pembicaraannya terlebih dahulu. “Pak, maaf, tapi boleh saya kerjakan habis makan siang aja nggak?”
Sena mengernyitkan dahinya, “Mengerjakan apa?”
Dengan percaya diri, Mara langsung mengeluarkan isi pikirannya, “Itu, kan Bapak kesini pasti mau ngasih kerjaan tambahan kan ya, Pak. Tapi, berhubung lagi jam makan siang, saya boleh dong ya Pak, makan dulu?”
Faisal yang masuk ke ruangan Mara tepat saat Mara mengucapkan itu langsung tertawa terbahak - bahak. Bagaimana tidak, ia kira Mara sudah menyadari dirinya membawa 3 mangkok ramen, untuk dirinya sendiri, Mara, dan terakhir Sena. “Tadi Sena juga nitip abis elo, Mar, terus gue bilang deh nanti makan aja bareng di kantor Mara,” ucap Faisal, masih tidak bisa berhenti tertawa karena kebodohan Mara.
Mara yang tidak tahu lagi mukanya mau ditaruh dimana, hanya tertawa kikuk dan langsung mengambil porsi ramen miliknya. Sena yang mendengar kesalahpahaman Mara juga tertawa lepas. Kadang Sena juga suka heran mengapa anak buahnya yang satu itu sangat kaku terhadapnya. Bahkan, ia selalu mengingatkan Mara untuk tidak memanggilnya “Bapak” jika sedang tidak bekerja. Namun, Mara tetap saja kekeh memanggil Sena dengan panggilan “Bapak”, yang lama - lama membuat Sena pasrah terhadap keputusan Mara.
Sepanjang jam makan siang, Mara hanya bisa terdiam malu karena Faisal dan Sena yang terus - terusan mengungkit kesalah pahaman Mara. Sampai - sampai Faisal menyebut Mara sebagai busen, Budak Sena, karena Mara yang terlalu parno setiap diberi tugas oleh Sena. Sena, yang selalu menyadari ketekunan Mara, hanya tertawa mendengar sebutan baru itu.
“Toh saya suka nyuruh kamu, karena kamu lebih bisa diandalkan, daripada yang satu ini nih,” ucap Sena sambil melirik ke arah Faisal. Faisal yang mendengarnya, hanya tertawa lebar. Apa yang diucapkan Sena ada benarnya juga.
Mara tersenyum, kali ini benar - benar tulus, karena setidaknya teman makan siangnya hari ini bisa membuatnya lupa sejenak tentang kepergian Kin ke Switzerland yang tak pernah direncanakan sebelumnya. Mara ingat sehari lalu setelah makan malam, Kin mengajaknya pergi ke balkon. Kin tiba - tiba saja bilang kepadanya bahwa ia harus pergi ke Switzerland malam ini karena ada seminar di almamaternya dan Kin diundang untuk menjadi pembicara. Mara awalnya heran mengapa bisa ia tiba - tiba dipilih menjadi narasumber padahal acara sudah dekat. Namun, Kin beralasan bahwa pembicara sebelumnya berhalangan hadir dan dekan di universitas tersebut adalah kerabat dekatnya. Jadi, tidak enak bagi Kin untuk menolak tawaran tersebut. Bukannya Mara tiba - tiba menjadi rindu Kin, namun Mara mengakui kalau ia tidak bisa menjadi santapan pers tanpa Kin bersamanya. Karena selama ini, Kin selalu menjadi tempat omelan Mara setiap ada headline tabloid yang sembarangan dalam merancang artikel mengenai mereka berdua.
Mara langsung menggelengkan kepalanya agar pikiran tentang Kin segera buyar. Lagipula, esok hari Kin akan kembali ke Jakarta, jadi Mara setidaknya hanya perlu menghindari dari wartawan untuk 1 hari lagi.
“Mar, elo nggak mau ikut?” celetuk Faisal, yang membuat Mara bingung karena dari tadi ia hanya fokus dengan ramen di depannya sambil memikirkan kepergian Kin. “Astaga, Mar. Elo baru di tinggal si calon suami sehari, udah uring - uringan dia.”
“Ngaco, nggak ada yang uring - uringan karena Kin,” Mara spontan membela diri, sejenak melupakan kalau dia “calon istri” Kin, dan harusnya ia menunjukkan ke publik bahwa ia sangat amat menyayangi dan rindu ke calon suaminya itu.