Mara mengetuk pelan rumah minimalis di salah satu kompleks perumahan yang terletak di Jakarta. Dirinya berkali - kali mengecek ulang apakah ia sudah berada di alamat yang benar. Mara sendiri tidak yakin karena ia mendapatkan alamat ini saja karena menyelinap ke ruang kerja Augustin yang harus dilakukannya dalam satu gerakan cepat. Setelah dari apartemen Kevlar, Mara segera izin pamit agar Kevlar bisa memiliki waktu dengan dirinya sendiri, sebelum bertemu Alina di malam hari nanti. Enggan membuang waktu, Mara langsung pergi ke rumahnya untuk mencari alamat seseorang, lalu seketika Mara sudah berada di depan rumah yang ia tuju.
Engsel pintu seketika terputar dan Mara langsung membenarkan posisi berdirinya. Jujur saja Mara sedikit gugup karena akan bertemu dengan seseorang yang sudah lama ia tidak jumpai. Pintu bercat hijau tosca itu perlahan terbuka, menampilkan seorang laki - laki sepantaran Mara, namun lebih muda sedikit.
“Mara?” sahut laki - laki di depannya kaget bukan kepalang saat melihat saudaranya di depan pintu rumahnya.
Mara tersenyum kecil dan mengangguk, “Apa kabar, Sa?”
Laki - laki bernama Akshara itu diam mematung cukup lama, namun akhirnya ia kembali sadar dan langsung mempersilahkan Mara masuk. Sudah jalan 4 tahun semenjak terakhir kali Mara melihat saudaranya. Sepengetahuan Mara, Akshara disembunyikan dari publik, dan bahkan dari saudara - saudaranya sendiri, karena ia sedang menjalani rehab di Kanada saat itu. Penampilan Akshara tidak jauh berbeda dari terakhir kali mereka bertemu, kecuali rambut Akshara yang sekarang lebih rapi dan lebih menunjukkan kesan dewasa pada wajah Akshara.
“Mau minum apa? Sebenarnya lagi nggak banyak stock di rumah sih, gue udah lama nggak keluar soalnya, Mar.” ucap Akshara sambil menggaruk tengkuknya. Mara tertawa kecil melihat sikap Akshara masih sama dengan dulu yakni seseorang yang periang, walau sedikit aneh.
“Nggak usah, nggak apa apa. Gue juga cuman mampir kok.” jawab Mara sambil melihat sekeliling ruang tamu.
“Kalau mampir doang, nggak perlu sampe mengendap - endap ke ruang kerja Augustin dong.” Inilah keanehan yang Mara maksud. Dari dulu, entah bagaimana caranya, Akshara selalu bisa menebak kejadian - kejadian yang sudah terjadi layaknya ia memang berada di tempat kejadian tersebut. Mara pun tahu tentang “keahlian” Akshara karena tak sengaja mendengar percakapan antara Kevlar dan Akshara tempo dulu.
Mara menggeleng - gelengkan kepala, takjub dengan sifat Akshara yang “cenayang” seperti saat - saat dulu. Sejujurnya, yang membuat Mara bimbang adalah bagaimana ia harus mengangkat topik ini di depan Akshara. Ia takut pertanyaannya mengenai Azra akan menyinggung Akshara, atau bahkan malah mengingatkan Akshara tentang kejadian - kejadian tidak mengenakkan di masa lalu. Untuk beberapa waktu, Mara berpikir kalimat yang tepat untuk bisa bertanya ke Akshara tanpa melukai perasaannya.
Tiba - tiba saja Akshara yang dari tadi memperhatikan Mara langsung tersenyum sinis, “Azra?”
Mara mengangguk cepat, sudah mulai membiasakan diri tentang kebiasaan aneh Akshara.
“Mar, jauh - jauh dari Azra sejauh yang elo bisa. Percaya sama gue,” Akshara menghela napas, “He’s a monster.”
“Sa, boleh tolong ceritain what really happened 4 tahun lalu dengan Azra?” Mara akhirnya melontarkan pertanyaan yang ia hendak tanyakan. Tujuan ia sampai mencari alamat Akshara adalah karena ia harus mengetahui segala sisi dari Azra. Dimulai dari bagaimana cara Azra menghancurkan seseorang, yang sayangnya orang yang pernah Azra hancurkan adalah saudaranya sendiri. Mara tahu jika ia berperang dengan Morello dengan tangan kosong, semua hal ini akan menjadi bumerang baginya. Tak ada yang bisa menghalangi Mara sekarang. Bahkan, jika nanti ia harus menghubungi Serkovitch, Mara tak akan berpikir dua kali. Walau sebenarnya berurusan dengan keluarga Serkovitch, yang bisa dibilang mafia, adalah seperti melempar diri ke lubang penuh ranjau. Sungguh, Mara tidak bercanda saat ia bilang kalau ia ingin menumpas habis keluarga Morello.
Akshara yang tadinya masih berada di dapur, segera mengambil tempat duduk di seberang Mara, “This is gonna be a long one,”
Mara mengangguk, siap mendengarkan cerita Akshara entah seberapa panjang itu. Akshara menghela nafas panjang, mengingat kembali kejadian 4 tahun lalu yang menimpanya. Kejadian paling tragis yang pernah ia alami.
2015,
di kantor Havana Corporation
Akshara mengacak gemas rambutnya sambil menggeram frustasi karena ia tidak berhasil menggaet satupun investor untuk kembali ke perusahaannya. Semua ini bermula saat semua kualitas produk perabotan dari perusahaan Akshara mendadak menurun. Akshara yang tidak mempunyai ide darimana datangnya masalah ini hanya bisa terbelalak kaget saat ia menerima beribu - ribu komplain. Pasalnya, Akshara belakangan ini sedang lengah karena dia akan segera bekerja paruh waktu di perusahaan pamannya, Augustin. Hal ini diputuskan oleh kakeknya sendiri, Matteo, dengan alasan bahwa Akshara juga harus belajar mengenai kehidupan di dalam Soerjawidjaja & Morello Corporation, atau biasa disebut SM Corp.
Akshara merogoh ponselnya dan langsung menelpon sopir pribadinya, Pak Bara. Namun tiba - tiba pintu ruang kerjanya terbuka sedikit dan seseorang mencuatkan kepalanya ke dalam ruang kerja Akshara.
“Sa, gimana tadi?” ucap salah satu rekan bisnis yang juga teman dekat Akshara.
Azra Morello.
Akshara tersenyum getir, “Ya… gitu lah, Zra.”
“Hahahha, tenang bro… Mending sekarang kita santai - santai dulu ya kan? Nanti malem rame tuh di Fox,”
Akshara tertawa kecil, lalu menggeleng pelan, “Gue nggak ikut deh, Zra. Lagi ribet.” Azra yang mendengar respon Akshara langsung merengut sebal. Akshara yang tak menyadari perubahan mimik wajah Azra kembali merapikan barang - barangnya yang masih berserakan diatas meja. Akshara segera mengambil mantel yang ia gantung di gantungan baju yang terletak pada pojok kanan ruangannya, bersiap - siap untuk pulang.
“Tapi, nanti malam elo di rumah kan, Sa?”
Akshara mengangguk cepat, dan saat ia melihat ada panggilan tak terjawab dari Pak Bara, ia langsung izin pamit ke Azra dan segera menuju ke mobilnya yang sudah menunggu di lobby kantor. Tak heran Akshara sedang sangat kalut karena banyaknya pekerjaan yang menumpuk. Bagaimana tidak, ia harus mengurusi perusahaan yang ia bangun sendiri, tanpa bantuan dari keluarganya, dari setahun lalu. Ditambah Matteo yang mulai menyadari kompetensi Akshara di bidang bisnis, ia memiliki rencana tersendiri untuk menjadikan Akshara sebagai kandidat penerusnya, dan penerus Augustin, di SM Corp. Walau sebenarnya, Akshara tidak mengetahui akan hal tersebut. Yang ia tahu hanyalah, ia diinginkan untuk bekerja paruh waktu sebagai financial consultant di SM Corp karena Augustin bilang ia membutuhkan seseorang yang andil dalam bidang itu secepatnya. Pamannya sendiri yang tentunya mengetahui jurusan apa yang diambil Akshara selama kuliah, langsung menunjuk Akshara tanpa persetujuan dari dirinya terlebih dahulu. Semua pekerjaan ini terkadang terlalu berat bagi Akshara; bahkan ia sekarang sudah putus kuliah, yang seharusnya ia jalani di Stanford University, California.
Setelah melewati kebisingan dan hiruk pikuk jalanan ibu kota, Akshara akhirnya sampai di rumahnya yang berada di satu komplek yang sama dengan saudara - saudaranya. Terkecuali rumah neneknya, Anneke yang terletak sedikit jauh dari rumahnya namun tetap di ibu kota. Melihat tak ada mobil kedua orangtuanya di rumah, dan mengingat Akshara adalah anak tunggal, ia langsung mengetahui bahwa tak ada siapa - siapa di rumah. Perlahan Akshara mencopot kedua sepatunya, dan langsung melempar dirinya ke kasur. Hidupnya ini sudah terlalu berliku untuk ukuran seseorang yang bahkan belum menginjak angka 2, begitu pikir Akshara seraya menghela napas. Pikirannya seperti sedang ditutupi awan gelap dan itu membuat dirinya seperti sedang tenggelam dalam kecemasan. Semakin larut dalam pikirannya sendiri, Akshara lama kelamaan tertidur lelap. Setidaknya ia bisa meninggalkan dunia, bahkan untuk beberapa jam saja.
Tak menyangka, Akshara terbangun dengan kaget saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dengan panik, ia segera mengecek ponselnya takut ada suatu panggilan atau surel penting yang masuk selama ia tertidur. Untungnya, tidak ada yang menghubunginya terkait urusan penting, sehingga Akshara bisa bernafas sedikit lega. Namun, beban di punggungnya hanya terangkat sedikit, menyisakan pikiran - pikiran lain yang masih terus menghantuinya. Sebenarnya, yang paling Akshara pikirkan bukanlah mengenai pekerjaannya; melainkan, karena ia melihat sesuatu yang membuatnya bingung, apa maksud dari penglihatan yang baru ia dapatkan. Memang sedari dulu Akshara mengakui dirinya sedikit berbeda dari yang lain. Entah mengapa, diawali dengan sakit kepala berlebih, tiba - tiba ia bisa melihat suatu kejadian tanpa berada di tempat kejadian tersebut sedang berlangsung. Akshara pun sebenarnya tidak dapat memilih apa yang akan ia lihat, namun sejak umur 5 tahun, semua yang Akshara lihat selalu benar - benar terjadi. Ya… setiap keluarga memiliki satu anggota keluarga yang memang bisa dibilang, the freak of the family. Di kasus keluarga Soerjawidjaja, bisa dibilang Akshara lah yang menyandang gelar tersebut. Dikarenakan hal tersebut terlalu unik untuk bisa diceritakan ke siapapun, Akshara tak pernah membagi rahasia kecilnya, kecuali beberapa orang yang secara tak sengaja mengetahui kemampuannya ini.
Apa yang baru saja ia lihat saat ia mendadak sakit kepala ketika perjalanan pulang adalah mengenai Azra. Sesaat setelah Akshara pergi, Azra tampak masih berada di dalam ruangan kerjanya, seperti sedang mencari sesuatu. Penglihatan Akshara hanya melintas untuk beberapa saat saja, dan saat Akshara ingin melihat apa yang sedang Azra cari di ruang kerjanya, penglihatan itu menghilang. Meninggalkan Akshara yang sangat amat bingung tentang apa yang baru saja ia lihat.
Mungkin Azra hanya mencari berkas yang tertinggal, gumam Akshara, berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau Azra tidak mungkin berbuat yang aneh - aneh, walaupun semua saudaranya sudah memperingatkan Akshara tentang bergaul dengan keluarga Morello. Namun, bagi Akshara, saudara jauhnya itu sangat menarik dan membuatnya ingin mengenal Azra lebih dalam lagi.
Akshara yang sedang turun ke dapur untuk menyantap makan malam, langsung terloncat kaget saat melihat Azra sedang duduk di ruang tamunya sambil membaca majalah. Sambil masih berusaha menghilangkan memori tentang apa yang baru saja ia lihat, Akshara menghampiri Azra.
“Zra, elo ngapain tiba - tiba datang?” tanya Akshara heran, ia ingat betul kalau seharusnya malam ini Azra pergi ke Fox karena ada pesta yang diselenggarakan Vala, saudara Azra juga di keluarga Morello.
“Gue nggak mau ke Fox kalau elo nggak ke Fox.” ucap Azra terang - terangan.
“Yaudah, nggak usah.” Akshara yang mengucapkan hal itu seperti tidak ada rasa bersalah berhasil membuat Azra menggeram gemas.
“Vala bener - bener mau elo dateng, Sa,” rajuk Azra, “Lagian elo juga nggak perlu sampe malem kok. Cuman sebentar aja juga nggak apa apa. Elo sapa Vala sebentar, congratulate her, terus paling mingle bentar. Habis itu, bebas elo deh kalau mau cabut.”
Akshara tak menjawab, otaknya sekarang sedang memikirkan apa keputusan yang harus ia buat Di satu sisi, ia malas menghadiri acara - acara seperti itu disaat - saat genting seperti ini. Bisa - bisa ia diliput oleh wartawan dengan judul berita yang aneh - aneh padahal dirinya hanya ingin menghargai undangan dari Vala. Namun, di sisi lain, Akshara juga menyadari kalau dirinya sedang membutuhkan sesuatu yang bisa membuat dirinya lupa tentang masalah pekerjaan ini.