Chapter 9 : Living Angel
Azra menggeram kesal saat melihat isi sepucuk surat yang tiba - tiba ada di atas meja kerjanya.
Kecelakaan mobil 10 tahun lalu,
dalangnya adalah Nerissa dan Eros Morello
Tahukah kamu,
Azra Morello?
Play nice, dearest cousin.
Azra masih ingat 10 tahun lalu, saat ia mendengar percakapan tentang eksekusi keluarga Soerjawidjaja. Saat itu, ia tak paham tentang apa yang dibicarakan ayahnya. Namun, esok paginya saat melihat berita di televisi, Azra langsung mengerti apa yang sebenarnya di obrolkan ayahnya oleh seorang laki - laki, yang sampai sekarang Azra pikir adalah orang yang menabrak mobil Soerjawidjaja itu. Ia juga ingat bagaimana ayahnya menggeram kesal saat melihat orang yang ada di dalam mobil itu bukanlah pamannya, Augustin.
Ia mengacak rambutnya gemas, tak sangka Mara akan membalik meja kekuasaan antara mereka berdua secepat ini. Kemarin, Azra yakin dia lah yang memegang kekuasaan. Namun, melihat Mara perlahan bangkit, Azra tahu ini sudah waktunya untuk berhenti main - main.
Sebentar lagi, gumam Azra, memikirkan kapan ia akan melancarkan rencana terakhirnya.
-
Mara sedang mondar - mandir di kamarnya, memikirkan apakah keputusan yang tepat untuk menunjukan “kartu As” nya ke Azra. Namun, bagaimana lagi, ia tak bisa memutar balik waktu. Setelah kejadian malam beberapa hari lalu, Mara langsung bangkit lagi dari keterpurukannya dengan cepat dan langsung mengirim surat “ancaman” ke Azra. Sejujurnya, Mara belum sepenuhnya bangkit, namun ia tak akan membiarkan perkataan dan perasaan Kin menghalanginya. Mara mendengar jelas ungkapan perasaan Kin kemarin terhadap dirinya, namun Mara memilih untuk tak menggubris hal itu. Tak ada ruang untuk perasaan seperti itu sekarang, begitu pikir Mara. Benar - benar tak heran jika Mara dikenal dengan Putri Es, karena tak ada hal yang bisa menjadi gangguan bagi Mara jika ia sudah menancapkan tujuannya. Bahkan, Mara sudah meminta izin ke Sena karena dirinya akan berhalangan hadir ke kantor untuk seminggu ke depan; ada perjalanan ke luar negeri, begitu kata Mara.
Mara baru saja ingat kalau dirinya sudah membuat janji dengan Kirana, karena sejujurnya ia butuh pandangan dari gadis blasteran itu; dan, hanya Kirana lah yang bisa Mara percaya di luar keluarganya. Akhirnya, Mara langsung pergi ke kediaman Kirana, sesuai permintaan Mara, karena ia menginginkan privasi selama berbicara dengan Kirana.
Sinar matahari siang itu tak cukup menghangatkan dinginnya hati Mara yang sedang memecah jalanan Jakarta. Namun, kehangatan dari aura Kirana mungkin mampu meluluhkan ego Mara yang sedang di puncak - puncaknya hari itu. Setelah melihat gerbang hitam yang menjulang tinggi di depannya, Mara langsung masuk ke dalam area rumah Kirana. Keluarga Tova memang memilih untuk tinggal di daerah yang berada di bagian utara Jakarta. Karena lahan yang tak terbatas di sekitar situ, rumah Kirana membentang dari ujung ke ujung, yang bahkan Mara harus memutari sebuah air mancur terlebih dahulu sebelum bisa melihat rumah utama Kirana. Mara, yang hari itu diantar Pak Iwan, langsung masuk ke dalam rumah Kirana dimana sahabatnya itu sudah menunggu.
“Maraa!” seru Kirana, membuat Mara terkejut mendengar pekikan Kirana yang tak disangka. Kirana langsung berlari ke arah Mara dan memeluknya erat, padahal belum lama ini mereka juga baru bertemu.
Mara menggelengkan kepalanya saat menyadari Kirana menggunakan Silk Pajamas dari desainer asal London, Derek Rose, yang bahkan harganya menandingi Princetown Slippers Gucci yang sekarang Mara sedang gunakan. Hanya untuk sebuah set piyama. Memang tak dapat dipungkiri lagi, Mara sudah terlalu lama tak menyentuh bagian dari dirinya yang dulu juga menghabiskan uang berjuta - juta hanya untuk membeli brooch seasonal dari Chanel.
“Kenapa lagi, Mar? Berantem sama si calon suami?” ejek Kirana, karena kemarin Mara menyebutkan di telepon kalau ia ingin bercerita tentang Kin.
“Kemarin cuman gimmick sama Kin, Na.”
Satu kalimat singkat yang dilontarkan Mara berhasil membuat pekikan Kirana terdengar dari ujung sampai ujung rumahnya. Kalau saja di depannya ini bukan sahabat sehidup sematinya, pasti Kirana sudah pergi menyebarkan rumor yang baru saja ia dengar.
“Mar, ih, nggak bercanda dong.” ucap Kirana gemas, menolak untuk percaya bahwa Mara mengatakan yang sejujurnya. Namun, melihat wajah Mara yang terlihat tak ingin membenarkan perkataannya barusan, membuat Kirana yakin kalau Mara tidak bercanda. “Oh God… Spill all the tea! Elo nggak boleh ninggalin kejadian apapun, not even the tiniest details.”
“Jadi…” Mara mulai bercerita dari awal kejadian. Bagaimana ia dengan spontan mengajak Kin untuk menikah dengannya di malam acara fundraising dan Kin yang keesokan harinya langsung datang ke rumah Anneke. Mara bercerita segalanya, sampai akhirnya ia bilang ada perdebatan hebat antara mereka berdua kemarin malam. Namun, Mara tidak memberitahu Kirana apa yang ia perdebatkan, ia hanya mengatakan kalau ada hubungannya dengan Kevlar. Mara juga bilang kalau ia telah kehilangan sosok Kin semenjak kemarin malam. Ia juga memberitahu Kirana bahwa kemarin Kin mengungkapkan perasaannya ke Mara.
Kirana yang awalnya ini masalah sepele, langsung bingung harus menjawab apa. Dirinya memang tidak berpengalaman untuk memberikan saran - saran bijak ke teman - temannya. Tetapi, entah mengapa temannya yang satu ini selalu bercerita ke dirinya. Padahal, Kirana sendiri selalu bingung harus menjawab apa. Bukannya bingung, sebenarnya, tapi lebih ke ia selalu asal ceplos jika memberi saran. Apa yang ia pikirkan akan langsung ia lontarkan saat itu juga.
“Siapa yang salah?” tanya Kirana.
“Dia lah.” ucap Mara, namun Kirana mengangkat sebelah alisnya, menunggu apakah Mara akan meralat penuduhannya ke Kin. “Ya… gue sih yang kelewatan.”
“Mar, gue tahu elo udah lumayan lama, dan gue juga tahu elo tuh susahhh banget kalau disuruh mengakui kesalahan. No offense dear, but nggak semua orang kuat sama sikap keras kepala elo, apalagi elo kalau lagi emosi kan suka asal - asalan. Mungkin Kin kemarin lagi capek - capeknya, terus elo semprot kayak gitu, makin jadi lah dia.” Kirana berkata, mengeluarkan isi pikirannya. Inilah mengapa Mara suka bercerita ke Kirana, karena ia selalu mengatakan apa adanya tentang pandangannya mengenai masalah. “Gini deh, elo suka nggak sih sama Kin? Atau, sampai sekarang, elo juga nggak ada perasaan apa - apa?”
Mara terdiam. Bagaimana bisa ia menjawab disaat dirinya sendiri tak yakin tentang apa yang ia rasa. Betul Kin memberikannya ketenangan, Kin juga memberinya kenyamanan. Namun, ia juga berpikir, mungkinkah itu hanyalah perasaan sekilas yang seharusnya tak ia gubris?
Mara memutuskan untuk menggeleng, “Perasaan gue juga nggak penting, Na. Orang si Kin udah nggak mau ketemu gue lagi.”
“Mar… Kin tuh nggak kayak cowok - cowok yang biasa elo temuin di Fox. Kin is not a bastard. And, when he said he likes you, menurut gue perasaan dia nggak bakal hilang secepat itu.” ucap Kinara, berusaha membuka hati sahabatnya yang sedang berbaring tak berdaya di kasurnya.
“Tapi, kemarin gue bener - bener nggak habis pikir sama perkataan Kin. Dia baru kenal gue bentar, Na, 2 minggu an. Terus, dia udah main nuduh gue gitu aja.” protes Mara, emosinya mulai melunjak, mengingat semua perkataan Kin kemarin malam
Kinara menggelengkan kepalanya, ia berkata singkat sambil memoleskan kutek di jemari kanannya, “Iya, memang dia baru kenal elo. Tapi, kalau perkataan dia kemarin berhasil ngebuat elo nggak bisa berhenti mikirin 7 hari 7 malam gini… Apa elo nggak mikir, kalau deep down sebenarnya yang Kin bilang itu benar?”
Rasanya Mara sedang ditampar bertubi - tubi oleh perkataan Kinara.