Suasana lembab, dan bau tak mengenakkan dari gorong - gorong, adalah hal pertama yang Mara rasakan saat ia sudah sadarkan diri. Pandangan Mara masih belum sepenuhnya jelas, karena ia masih harus mendobrak pengaruh obat bius yang sekarang mengalir di tubuhnya. Baru saja ia ingin menggerakan badannya, dan saat itu pula Mara sadar dirinya terikat di sebuah kursi.
Mara menggeram kesal, dan tentunya, geramannya ini terdengar sampai ke telinga orang yang membawa Mara ke tempat tersebut. Perlahan, Mara bisa melihat sesosok laki - laki yang seketika keluar dari bayangan.
“Kayaknya dosisnya kebanyakan, sampe elo baru bangun sekarang.” Mara melihat seseorang yang tengah menyeringai di depannya, namun pengaruh obat di tubuhnya terus membuat pandangannya kabur juga membuat kepalanya pusing tak karuan. “Mara, Mara… kan gue udah bilang buat play nice.”
Mara tak perlu melihat dengan jelas untuk memastikan siapa orang yang berada di depannya. Dari logat bicara, dan seberapa menusuk suara orang itu, Mara sudah yakin kalau pasti sosok itu adalah Azra.
“You’ll pay for this, Zra.” ancam Mara, mulai mendapatkan kembali kesadarannya.
“And, you’ll be dead by then.” Ucapan singkat Azra berhasil membuat sekujur tubuh Mara mendadak kaku. Tak mungkin Mara tidak merasa takut, bahkan sekarang badannya sudah bergetar hebat. Ia tahu Azra bisa saja mengambil langkah sejauh itu, dan Mara takut itu akan terjadi.
“Seharusnya elo, dan tunangan elo itu, nggak nyari tau tentang keluarga gue sampai sedalam itu, Mar. Kalau elo pasrah kayak Akshara, bisa aja elo masih gue biarin hidup kayak saudara elo itu.” Azra terkekeh, mengingat seberapa sempurna rencananya saat itu, “Yaa… lagipula sebentar lagi semuanya bakal selesai. Saat elo udah nggak ada, dan Kevlar juga nggak memenuhi kriteria karena kebodohan dia jatuh cinta sama orang selain Sophia… Well, that’s my time to shine,”
Tak ada waktu untuk mendengarkan ocehan kosong Azra. Mara, di sisi lain, berusaha membuka ikatan tali yang mengelilingi kedua tangannya. Mara tak kuasa kondisi ini, dimana ia terlihat tak berdaya. Bukan terlihat lagi, namun Mara benar - benar tak berdaya saat tali yang mengikat kedua tangannya tak kunjung terbuka. Saat itu, Mara hanya terus berharap, bahwa siapapun akan menyelamatkannya dari neraka sekejap ini; dan, Mara berharap orang yang menyelamatkannya adalah Kin. Tak peduli walau Mara terlihat seperti damsel in distress, yang sangat melukai prinsip Mara, namun saat ini hanya memperdulikan kehadiran Kin. Ya, Kin Dhananjaya, hanya pria itu seorang.
“Tenang aja, Mar. Habis elo, Kin juga bakal dapet gilirannya kok.” ucap Azra sambil membelakangi Mara.
“Psikopat.”
“Tidak, tidak… bukan psikopat, sweetheart,” Azra tiba - tiba sudah berada di depan muka Mara, sambil memegang dagu Mara secara spontan, “Gue cuman nggak suka kalau gue diusik.”
Tak henti - hentinya Mara menggerakan kepalanya, agar cengkraman Azra di mukanya segera terlepas. Azra mengeluarkan tawa kencang, sebuah hal yang memuaskan baginya untuk melihat Mara duduk tak berdaya seperti ini.
“Istirahat yang cukup, Mar,” bisik Azra sambil merapikan rambut Mara, “This will be the last time for you to get asleep.”
Mara meringis pelan saat melihat Azra, dengan sengaja, menunjukan pucuk senjata yang ia sembunyikan di belakang jas Azra. Dengan itu, Azra meninggalkan Mara sendiri, di dalam pabrik yang sudah terbengkalai.
Sudah berkali - kali Mara menelusuri seluruh bagian pabrik dengan pandangannya, berharap ia bisa menemukan suatu benda tajam yang bisa mengeluarkannya dari ikatan tali yang membelenggunya. Namun, tetap saja, Azra tak meninggalkan satupun benda yang berada di jangkauan Mara.
Pasrah, yang dulunya tak pernah ada di kamus Mara, adalah satu - satunya perasaan yang Mara rasakan sekarang. Ditemani semilir angin pelan, juga kerlip bintang malam itu, Mara memejamkan matanya sambil berharap bahwa siapapun akan menemukannya dengan cepat.
Siapapun, Tolong. Dua kata itu adalah kata yang selalu Mara ucapkan dalam hatinya, berharap seseorang di luar sana, secara ajaib, bisa mendengar perkataannya. Mara yang tadi memejamkan matanya, pun tak sadar bahwa posisi bulan sudah tergantikan dengan matahari yang menerangi tempat ia tertidur.
Seluruh badan Mara terasa kaku, ia bahkan tak bisa merasakan jemari kakinya karena terlalu lama berada di posisi yang sama. Untungnya, Mara sudah tak merasakan pengaruh obat bius di tubuhnya, sehingga sekarang Mara sudah bisa melihat jelas sekelilingnya. Termasuk Azra, yang sedang duduk di depannya. Entah sudah berapa lama Azra duduk di depannya sambil menunggu Mara untuk terbangun, namun perbuatan itu berhasil membuat Mara bergidik ngeri.