Galang terbangun dengan napas terengah. Sebuah mimpi buruk kembali menghampirinya. Seorang anak kecil menangis, meminta tolong tapi Galang tak bisa berbuat apa-apa.
Dia lalu duduk di tepi tempat tidurnya. Sambil memejamkan mata dan mengusap kasar wajahnya dia berusaha menghilangkan mimpi buruk itu dari pikirannya.
“Mimpi jelek lagi?” tanya seorang pria paruh baya yang tertidur tak jauh dari tempat tidurnya.
“Iya, Bang.”
Ruangan kecil itu temaran dengan sumber cahaya kecil di dekat nakas yang membatasi tempat tidur mereka. Tapi, Galang tahu pria itu masih memejamkan matanya. Dia adalah Bang Beni, mandor di tempat kerja Galang.
“Baca doa makanya kalau mau tidur. Jangan langsung nyep bae.”
Galang tersenyum. “Iya, Bang. Semalem cape banget.”
“Lagian lo ada-ada aja, kayak kurang nguli seharian, malem masih aja nawarin nata barang di gudang.”
“Lumayan, Bang, duitnya, itung-itung nambahin tabungan receh saya.”
Pria paruh baya itu lalu duduk. Dia mengambil ponsel tuanya dan kacamata yang dia geletakkan di nakas. “Udah subuh nih, solat dulu dah.”
Galang mengikuti pria itu, mereka berjalan ke arah halaman belakang, tempat satu deretan keran yang biasa mereka pakai untuk mencuci berada. Setelah berwudhu, pria itu langsung memimpin solat.
Selama bekerja serabutan, Galang selalu mengikuti pria paruh baya yang sudah seperti ayahnya sendiri. Sesibuk apa pun, mandor di tempat kerja Galang itu selalu ingat solat.
“Kita boleh bikin dosa tiap hari, tapi tetep inget yang di atas sana, biar imbang timbangannya entar,” kata sang mandor tiap mengajak Galang solat.
Sejak kecil Galang tak pernah kenal agama. Dia dibesarkan oleh orangtua yang tak pernah mengajarinya ibadah. Dia bahkan mengenal Islam sebatas pelajaran di sekolah atau saat ibunya mengundang ibu-ibu pengajian ke rumah untuk syukuran dalam momen tertentu.
Di KTP Galang memang tertulis Islam, tapi dia buta soal agama itu. Dan sejak bekerja dengan sang mandor, Galang jadi belajar.
Lebih dari 30 tahun hidup, tapi baru 2 tahun belakangan dia belajar solat dan mengaji.
“Assalamualaikum warrahmatullah, assalamualaikum warrahmatullah. Astagfirullah aladzim….” Sang Mandor melanjutkan dzikir setelah shalat subuh, khusyuk sambil menutup mata.
Galang buru-buru berdoa lalu berpamitan kepada imam solatnya itu.
“Banyakin doa mumpung lo sering musafir. Anak lo jauh, tapi Tuhan pasti denger kalo lo doain dia.”
Galang tersenyum dan mengangguk takdzim, lalu berjalan kembali ke kamarnya.
Bang Beni memang benar, saat ini yang bisa dilakukannya hanya berdoa. Sejak dia pergi meninggalkan putrinya dua minggu lalu, dan memutuskan untuk mengambil pekerjaan ini, pikirannya tak tenang. Apalagi putrinya tak bisa dihubungi.
Biasanya handphone putrinya rusak atau disimpan oleh mantan istrinya. Tapi, sudah cukup lama. Kinan cukup pintar, dan dia yakin putrinya itu pasti akan cari cara untuk menghubunginya.