Matahari pagi menyinari kota, menembus celah-celah bangunan dan menerangi jalanan yang tampak lengang, pancaran sinarnya menghangatkan jiwa-jiwa yang membeku oleh dinginnya malam.
Di sebuah cafe sederhana yang terletak di sudut kota, Dharma Malamindra, seorang pemuda dengan aura misterius menyesap kopi pahitnya sambil memperhatikan hiruk-pikuk kota yang telah hidup kembali dengan aktivitas kehidupan manusia.
Ia sedang duduk di meja bundar dekat jendela, ditemani oleh Maya Candra, seorang analis forensik yang kalem dan cerdas, serta Arga Satria, hacker freelance yang selalu penuh ide nakal.
Ketika menatap bayangan dirinya dikaca jendela. Entah kenapa kenangan masa kecil terlintas di benaknya.
Dharma kecil sedang duduk didepan cermin. Ia mengamati wajahnya dengan seksama, seolah-olah ingin menyingkap rahasia dibalik matanya. Ibunya yang sedang sibuk di dapur memanggilnya. "Dharma, cepatlah turun dan sarapan! Nanti kamu terlambat ke sekolah!"
Dari jauh terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Dharma beranjak dari tempat duduknya, tapi matanya tetap tertuju pada cermin hingga sesosok wanita masuk di pandangannya. "Mama, mengapa aku berbeda?" Tanyanya dengan suara pelan.
Ibunya berdiri disamping Dharma dan berjongkok, "maksudmu?"
"Aku merasa aneh ... seolah-olah aku tidak seperti anak-anak lain, rasanya sangat ... jauh berbeda."
Ibunya tersenyum lembut dan mengelus kepala Dharma. "Kau tidak aneh, sayang. Kau istimewa."
Dharma menggeleng. "Aku tidak ingin istimewa, aku ingin menjadi normal."
Ibunya mendekatkan dirinya pada Dharma, sehingga wajah mereka sejajar di cermin. "Kita semua berbeda, Dharma. Keunikan kita yang membuat kita istimewa. Jangan pernah takut untuk menjadi diri sendiri."
Dharma terdiam, matanya masih tertuju pada cermin. Ia tidak yakin apakah dirinya percaya dengan ucapan ibunya.
Pandangan matanya dikaburkan oleh uap panas dari kopi, Dharma menyesap kopinya pelan. Sedikit senyum tersungging dibibirnya.
Diseberang meja Dharma, Detektif Rendra Wiranata, partner Dharma yang juga kepala tim, tengah asyik membaca koran. Sesekali ia melirik mereka bertiga terutama Dharma yang kini memiliki senyum penuh teka-teki.
Detektif Rendra yang tidak dapat menahan rasa ingin tahunnya langsung berkata, "Senyummu itu seperti sedang merencanakan sesuatu yang jahat, Dharma. Katakan, apa rencana besarmu?"
Dharma sedikit terkejut oleh suaranya yang begitu tiba-tiba, lalu ia tersenyum tipis, "Kau tau Pak Rendra." Ucapnya dengan suara lembut tanpa emosi, "aku merasa kota ini terlalu tenang. Seolah-olah kejahatan sedang berlibur."