"Aku akan lebih berhati-hati."
Rendra menatap gelas teh yang tinggal setengahnya, uap panas masih terlihat samar-samar.
"Kalian tahu, "Kindness Killer" ini benar-benar menarik. Kenapa ia melakukan semua itu?"
Rendra mengernyit. "Entahlah, Dharma. Motifnya masih belum terungkap."
Dharma berdiri dengan punggung tegak, ia mendekati jendela, menatap jalan raya melalui jendela cafe. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya, sudut bibirnya sedikit terangkat, tersenyum samar menciptakan nuansa misterius.
Di sekelilingnya, suasana cafe bertema alam yang tenang diiringi musik latar yang lembut. Warna hijau dari tanaman dan aksen cafe bercampur dengan kehangatan coklat kayu yang mendominasi ruangan, menciptakan suasana yang nyaman dan menenangkan.
Dharma kemudian berbalik dan menatap mereka bertiga.
"Lihatlah cafe ini," kata Dharma, "cafe ini hanya sebuah titik kecil di dunia yang besar ini. Tapi di dalamnya, tersembunyi sejuta cerita dan rahasia. Seperti Kindness Killer".
Rendra mengangkat pandangannya dari gelas teh, matanya menatap Dharma dengan tatapan yang penuh arti. "Ya, kau benar. Tapi cafe ini tak hanya sebuah titik kecil. Ia bisa menjadi awal dari segalanya. Dimulai dari sini, kita bisa menemukan siapa 'Kindness Killer' itu. Mencari tahu siapa ia dan mengapa ia melakukan semua itu."
Maya mengangkat alisnya dan menatap Dharma dengan tatapan yang penasaran. "Kau benar, setiap tempat bisa menjadi awal. Kita harus melihat lebih detail ke lingkungan sekitar 'Kindness Killer'. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan." Ia kemudian menoleh ke Arga, "Apakah ada yang bisa kita cari dari sisi digitalnya?"
Arga, yang sedang menggerakkan jari di keyboard, mengangkat pandangan dengan wajah yang sedikit tertekan. "Aku sudah mencoba melakukan itu, tapi ia benar-benar pandai menyembunyikan jejaknya. 'Kindness Killer' ini benar-benar berpengalaman." Ia menggeleng kepala dan kembali menatap layar laptopnya, mencoba mencari petunjuk baru.
Namun, sebuah keluhan lolos dari bibirnya. "Tapi mengapa kita harus berkumpul di kafe kecil ini. Tidak ada warung di sekitar yang bisa membuat perutku kenyang," bisiknya, sambil menggerakkan jari-jari di atas tombol-tombol keyboard dengan gerak yang frustrasi, seolah-olah ia ingin menghilang dari kafe yang menurutnya tak menarik itu.
Dharma terkekeh pelan, "Arga, kau memang selalu punya cara untuk membuat suasana sedikit lebih hidup. Sabar, Arga. Kita takkan selalu bisa menikmati makanan enak saat sedang bekerja. Yang penting, kita bisa menemukan 'Kindness Killer' dan menghentikan aksi kejamnya."
Maya, yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya, mengangkat pandangan dan menatap Arga dengan senyum yang sedikit menyindir. "Kamu bisa memesan makanan melalui aplikasi jika tak mau beranjak dari kursimu. Tak perlu mengeluh di sini." Ia kemudian kembali menatap buku catatannya dengan tatapan yang fokus.
Rendra mengangguk setuju, matanya masih tertuju pada gelas tehnya. "Ya, aku pikir karena Kita harus memikirkan strategi selanjutnya. Maka dengan perut yang kenyang pasti membantu proses berpikir lebih lancar. Jadi... Arga pergilah pesan makanan."