Begitu ia menempatkan ideologi di atas segalanya, batasan benar dan salah akan memudar. Kebenaran absolut hanyalah miliknya. Padukan dengan kekuasaan, maka tak ada yang bisa menghentikannya menghancurkan sebuah negeri. Meleburkan bak lilin lalu membentuknya ulang sesuai ideologinya.
Alkisah di sebuah negeri yang kaya sumber dayanya, ramai penduduknya, seorang presiden bermeditasi di ruangannya, berbicara dengan semestanya, membenarkan dirinya atas perbuatannya.
Seiring dengan Symphony of the Forest yang mengalun dan aroma lavender di sudut-sudut ruangannya, ia melihat manusia-manusia kekeringan kelaparan, kebakaran kerusuhan, hancur terbakar. Lalu secercah cahaya tertampak di batas negeri, menciptakan masa depan yang lebih baik, lebih kuat, lebih siap untuk bertarung.
“Tuan Presiden.”
Mendadak seseorang bertopi tinggi ala koki muncul dari balik pintu utama, membuyarkan meditasi. Topi tingginya mencuat lebih dahulu sebelum wajahnya.
“Sudah masuk makan siang,” ujar kepala koki istana yang kerap menggunakan istilah arsitokrat ala Renaissance. Dampak terlalu lama belajar di Florence.
“Nasi putih, sambal dan ayam goreng, tuan presiden?” Tanyanya sopan.
Tuan presiden hening sejenak.
“Es tehnya jangan lupa,” balasnya.
Kepala koki menyungging tipis. “Perfetto,” ujarnya sembari beringsut mundur seinci demi seinci..
Tidak butuh waktu lama, seseorang lainnya kembali muncul dari balik pintu yang sama. Bertubuh jangkung dengan perangai serius dan berkacamata.
Ia memasuki ruangan tergopoh-gopoh dan membawa selembar kertas di tangan kanannya. Tuan Presiden melirik dari sudut mata. Rautnya berbicara, “pasti tidak penting.”
“Pak, ini apa? Kenapa menerima media tanpa sepengetahuan saya.” Si pria jangkung sengit dan menunjukkan surat yang meminta konfirmasi kehadiran presiden dalam sebuah wawancara di youtube..