Penampakan sebuah waduk timbul tenggelam seiring kontur jalan yang turun naik. Tidak ada satu pun orang melintas di jalur ini. Entah memang sudah ditutup, atau memang mereka memiliki mantra menciptakan halimun hingga tidak satu makhluk pun terlihat melintas. Padahal ini jalan umum.
Adalah empat orang bergaya necis ala eksekutif metropolis lengkap dengan jas dan sepatu oxford berkumpul di ruang tengah sebuah vila. Ekspresi mereka tegang. Kecuali satu yang tampak bodoh.
“Kita membutuhkan waktu lebih lama lagi,” ujar Vidya, satu-satunya wanita di pertemuan ilegal ini. Perangainya tegas dengan kacamata berbingkai hitam pearl melingkari mata tajamnya. Suaranya lembut mengalun, selaras dengan postur tinggi semampainya.
“Hanya tinggal beberapa ratus kilometer untuk terhubung, cobalah untuk dipertahankan,” tambahnya.
“Setahun yang lalu kamu juga mengatakan hal yang sama. Tapi kenyataannya, setelah menghubungkan, kalian justru membuat pipa baru. Mau disambung ke mana lagi?”
Malik salah satu dari tiga pria necis membalas ketus. Wajahnya serius dengan rambut yang sudah putih namun tetap klimis.
“Kenapa kamu peduli tentang itu?" Sambar Julian, salah satu rekan Vidya yang rokoknya sudah membuat ruangan seperti sedang diasapi. Wajahnya kotak dengan sudut yang tegas, bibirnya legam dan bertubuh besar. Dengan sekali lihat semua orang tahu kalau ia orang yang selalu gusar dan rusuh.
“Pras yang menentukan, bukan kamu!” Hardiknya.
“Sudahlah Malik, toh kita semua menikmatinya, jangan terlalu naif. Ini bisnis,” Vidya menambahkan.
Vidya dan Julian, tim pemburu proyek dengan sejuta koneksi kepada pemerintah. Di bawah pimpinan Vidya yang diberkahi kemampuan lobi tingkat dewa, mereka bisa menembus negosiasi level tertinggi negara ini. Mereka bermulut manis saat meminta proyek, berlidah pahit saat proyek sudah di tangan.
“Kita tidak akan bisa bertahan lama, Pras akan pensiun.” Malik melunak setelah sadar ia tidak akan bisa berdebat dengan kedua calo kompak ini. Satu-satunya rekan yang ia harapkan membantunya adu mulut justru terlihat malas membantunya, bersender malas di sofa sejak tiba di pondok ini.
"Dasar sapi!" Malik menyerapah dalam hati.
“Kukira dia ingin menjabat lagi!” Ujar Julian.
“Sulit untuk mengubah undang-undang. Kalaupun bisa, rivalnya terlalu kuat.”
“Kamu lupa siapa yang mendalangi kita!”