Nama Green Forest Huis menyambut di pintu gerbang komplek hunian elit yang hanya berisikan lima belas rumah, terpahat di dinding dan terpampang indah bersama air mancur dan sorot lampu kuning elegan. Rumah Setyo sang wakil ketua berada di ujung jalan komplek ini. Yang paling megah dan paling luas. Namun sepi kehidupan.
Di depan rumahnya sudah ada dua sedan mewah dengan plat dinas yang sudah dihitamkan. Tidak jauh dari situ, dua SUV berwarna gelap dan kaca hitam bertengger mengawasi keadaan. Di dalamnya, orang-orang dengan pistol melingkar di pinggang siaga mengawasi, memastikan tiada mata-mata atau wartawan nakal menyusup masuk mencuri dengar.
“Terus terang saja Setyo, apa yang mau kau bicarakan?” Tanya Harto si Menteri Dalam Negeri. Suaranya parau dan mengeluarkan bau rokok sangit. Wajahnya sayu dengan beberapa lipatan keriput. Maklum saja, ia satu-satunya warga emas yang masih melayani presiden.
“Biasa, membicarakan rancangan undang-undang,” jawab Setyo.
“Kalau begitu kenapa harus Lintong yang mengantar undangannya? Kenapa di rumah kau, tidak di kantor?”
“Sekalian menyambung tali persaudaraan, Bang.”
Jawaban klise. Sekali lalu saja, Harto tahu ada agenda di balik makan malam ini.
“Setyo, waktu adalah uang, dinding pun bertelinga, cepat katakan tujuan kau. Kita ini kan, sama-sama datang dari lumpur yang sama, langsung ke intinya saja sebelum ada wartawan iseng menyadap.”
Setyo bangkit dari kursi makannya, bergerak menuju dapur dan mengambil sebuah map dan sebotol Gin.
“Ketidakharmonisan kita tidak perlu dibawa, Bang. Namanya juga politik,” ujarnya sembari membuka botol Gin bertuliskan Gin Mare. Sebuah Dry Gin yang mengaku berasal dari Mediterania.
“Tidak ada makan malam yang tulus di dunia politik,” balas Harto. Ia sudah mengendus bau amis wakil ketua parlemen ini.
Setyo mengangkat gelasnya mengajak toast bapak tua yang tampaknya sudah kehausan sejak pertama tiba. Harto memang agak candu dengan alkohol, sama seperti Setyo. Sesama dewa mabuk biasanya saling bantu.
Setelahnya, ia mengeluarkan dokumen di dalam map lalu menyerahkannya kepada Harto. Di dalamnya ada sederet nama beserta sebuah angka yang sepertinya sebuah aliran dana. Dana proyek Kindra. Ada nama Setyo juga di situ. Jantung Harto berdegup melihat angka yang sangat besar itu.
“Ini apa?”
“Jumlah uang yang disetor Pras ke kami semua,” jawab Setyo.
Harto mengerutkan kening, ia membetulkan letak kacamatanya untuk memastikan semua angka itu bukan fatamorgana. Jumlahnya besar sekali.
“Ada sebuah proyek besar yang sudah dikuasai Pras sejak ia masih wakil presiden. Kita semua terlibat dalam operasionalnya.” Setyo melanjutkan.
“Lantas?”
“Saya ingin mengambil alih proyek itu.”
Dengan lugas sang wakil ketua memperlihatkan ambisinya, membuat orang tua di depannya mengalihkan mata dari dokumen ke arahnya, menatap Setyo yang sedingin ular.
“Urusannya denganku?” Alis Harto bertautan.
“Pras harus dijatuhkan untuk bisa mengambil alih proyek itu.”
Harto membelalak, kaget dengan kalimat kudeta yang diucapkan datar barusan. Seolah-olah kudeta itu hal biasa bagi Setyo.
“Gila! Ini makar! Jangan ngelawak, kau.”
“Tidak, tidak. Bukan makar. Pras akan menghabiskan periode ini dengan damai.”
“Lalu? Dia tidak bisa maju lagi periode depan!” Tukas Harto.
“Saya sangat mengenal orang itu. Ambisinya mengerikan. Dia pasti akan maju lagi.”
“Gila. Mana bisa dia mengubah undang-undang!”
Setyo tak menjawab, tapi ekspresinya menjawab “sangat mungkin.”