KINDRA

krkawuryan
Chapter #5

Singgih Arwan

Tukang parkir liar, pekerjaan halal yang kerap dicap maling berkedok peluit. Kelihaiannya yang bisa tiba-tiba muncul minta uang serta keahliannya dalam mengokupasi trotoar sukses mengukuhkannya sebagai hama di kota ini.

Pekerjaan ini sudah menjadi cita-cita masyarakat kelas bawah. Karena kalian hanya tinggal duduk, pasang tampang sangar, mulut sumpal peluit, sentuh kendaraan yang mau keluar, dua sampai lima ribu pun masuk kantong. Itu halal, mereka tidak merampok, hanya meminta. Salahnya mau memberi.

Adalah Singgih Arwan, warga kelas dua yang juga berprofesi sebagai tukang parkir di sebuah apotek kecil di Jakarta Selatan. Tampilannya lusuh dengan rompi hijau yang sudah sedikit menguning, serta peluit biru bertali kur melingkar di lehernya.

Tubuhnya tinggi kurus dan tampak kurang gizi. Rambutnya pendek berantakan, terkombinasi dengan kumis jenggot bercabang asal-asalan, mempertegas dirinya sebagai kaum miskin ibu kota.

Bermodalkan ijazah sekolah menengah pertama, Singgih hijrah ke ibu kota sepuluh tahun lalu. Menjadi tukang parkir adalah satu-satunya peluang yang ia miliki sebagai lulusan SMA tak tamat.

Berbeda dengan impian semua orang yang ingin menjadi wong sugih saat hijrah, Singgih hanya mencari kehidupan. Asal bisa makan hari ini, itu sudah lebih dari cukup.

Namun, seperti siang-siang lainnya, siang ini pun dia terancam puasa lagi. Sudah lewat jam dua belas namun baru lima belas motor yang datang dan pergi di lahan parkir apoteknya.

"Semakin hari manusia tambah sehat, ini tidak masuk akal," pikirnya.

Menurut Singgih, seharusnya kepadatan penduduk kota sejalan dengan tingkat kesehatan yang rendah. Maksudnya, tidak mungkin orang menjadi sehat jika tiap hari mengonsumsi CO2, kan?

Langkah gemulai seorang wanita di kejauhan mendadak mengalihkan perhatian pria lusuh ini. Ia langsung berdiri dan berjingkat agar bisa melihat si wanita yang timbul tenggelam di kerumunan orang lalu lalang. Matanya memicing.

Walaupun dari kejauhan ia bisa menebak wanita itu adalah pujaannya yang selama ini bertengger di hati. Ia bahkan punya altar pemujaannya di kontrakannya, berupa foto-fotonya yang ia ambil secara diam-diam.

Singgih hanya tersenyum saat wanita tersebut sudah benar-benar hilang dalam kerumunan. Tiba-tiba ia lupa kalau sedang lapar.

Sejurus kemudian sebuah SUV hitam mewah berhenti di depan apotek, membuyarkan lamunan Singgih. Pemiliknya turun dari pintu belakang namun tidak menuju apotek, melainkan ke mini market di sebelah.

Singgih menegakkan kepalanya, ternyata memang parkiran mini market sedang ramai.

Tidak sampai lima menit, si pemilik kembali dengan menenteng belanjaan. Singgih dengan sigap berdiri dan meniup peluit birunya. Ia siap melancarkan aksinya.

Yak..terus..terus..terus.” Tangannya lihai mengarahkan agar mobil tidak menabrak tiang di depannya, yang sebenarnya masih berjarak setengah meter jauhnya, mustahil tertabrak meskipun si sopir SIM-nya nembak.

Singgih berlari memutar, berdiri mematung di sebelah kanan kaca mobil depan, tapi yang terbuka justru kaca belakang.

Oh iya, mobil semewah ini yang duduk depan pasti sopir.

“Mau apa kamu?” Si pemilik bertanya ketus.

“Parkir, Pak.”

“Parkir apa! Saya tidak ke apotek.”

“Tapi ini parkiran apotek, Pak.”

“Kata siapa? Memang apotek itu sewa usaha hingga ke parkiran? Memang kamu pegawai apotek?” si pemilik mencecar.

“Ya, tapi itu,- ”

“Lagi pula sopir saya standby! Kenapa tidak kamu usir saja kalau memang ini wilayah kamu!” Pemilik mobil semakin gusar. Sorot matanya tampak jijik dengan Singgih, atau dengan profesi Singgih.

“Ya...Ta...Tapi kan ....” Singgih patah lidah, selain semua yang dikatakannya benar, ia juga tidak mau berurusan dengan pejabat.

Nomor mobilnya tidak lazim, khas nomor orang penting. Singgih pun sempat mengintip ke bagian dalam, ada simbol negara tertera di kop dokumen yang berserakan di sebelahnya.

Kalimat balasan Singgih tertelan kembali, dan mobil pun berlalu begitu saja, menyisakan gas karbon mengasapi wajahnya.

Ini bukan kali pertama Singgih dimarahi dan dihina. Ia sadar pekerjaan ini memang layak diperlakukan demikian, tapi pilihan apa yang ia miliki. Menahan diri adalah jalan satu-satunya agar profesi ini langgeng. Tidak mudah mencari apotek lain yang bisa diklaim jika terusir dari sini.

..........

Tidak lama setelahnya, sejumlah pejalan kaki dan warga terlihat riuh dan kompak mengunci pandangan ke seberang jalan, beberapa warga bahkan sudah siap dengan ponselnya, ada kejadian yang layak rekam.

Bunyi klakson berulang-ulang turut memecah dari seberang jalan, Singgih berdiri dan ikutan mencari sumber suaranya. Tidak butuh waktu lama, ia dan semua mata lainnya tertuju pada mobil yang tadi mengasapi Singgih. Mobil itu sedang dibegal.

Ada tiga orang sedang menghunjamkan batang besi ke mobil itu. Salah satunya bahkan menggenggam kapak di tangan kirinya, dia yang paling sibuk.

Kondisi yang macet membuat mobil ini terperangkap. Orang-orang di sekitar hanya memandang saja, entah takut entah bingung. Tapi yang pasti semua kompak merekam dan berfoto ria.

Melalui kaca yang tidak terlalu gelap, si pemilik terlihat sangat panik, dia sibuk,-

Mengoyak-oyak dan menyobek kertas? Ada apa dengan berkas-berkas itu?” Singgih bertanya-tanya.

Ini bukan pembegalan!” Otaknya menyimpulkan.

Singgih mencabut balok kayu yang ditanam sebagai pembatas wilayah parkir antara mini market dan apotek, lalu dengan lincah berlari menyeberangi jalan, melompati pagar pembatas bak kuda pacuan. Tanpa ragu ia hantam balok itu ke punggung si pembawa kapak hingga limbung.

Singgih tak berhenti, bak kesurupan setan gila, ia terus menghantamkan baloknya hingga si pembawa kapak tersungkur di aspal. Kedua temannya yang tadi terlihat garang berubah termangu melihat aksi nekat tukang parkir yang tak terlalu tinggi ini tapi bertubuh liat biji tembaga, akibat ditempa panas matahari dan polusi bertahun-tahun.

Akhirnya, bukannya membantu, mereka malah balik arah dan berlari, dan semakin kencang saat Singgih dengan cerdasnya meniup peluit berulang-ulang dan berteriak, “BEGAAAAAL!! BAKAAAR!!”

............

Tidak butuh waktu lama, puluhan orang yang tadi sibuk sendiri kini sudah mengerubungi si pembawa kapak, menghajar tanpa ampun meskipun wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Sebuah tangki berisi minyak pun sudah disiapkan. Singgih mundur perlahan dari gerombolan barbar ini.

Lihat selengkapnya