KINDRA

krkawuryan
Chapter #8

Cinta Proletarian

Sementara negara sedang kisruh, Singgih masih bergelut dengan nasibnya di sebuah blok yang disesaki oleh masyarakat kelas bawah. Komplek hunian padat penduduk tersebut bagaikan kantong di tengah area elit pusat kota. Rumah-rumah dengan gaya arsitektur yang sama -pintu ketemu pintu- saling berimpitan di dalamnya.

Singgih berjalan menyusuri lorong sempit gang dengan wajah khasnya yang lusuh. Ia seperti sedang menghitung langkah, menunduk sepanjang jalan. Ia hanya akan mengangkat kepalanya jika berpapasan dengan motor atau berpapasan dengan ....

“Singgih,” Indira Ayu, kembang kampung yang paling manis di hunian yang mirip TPA ini mendadak muncul dan menyapanya. Entah dari mana ia datang, seperti dilempar dari langit.

 “Ha...Hai.” Singgih membalas dengan bibir bergetar, kesan lusuh pun berganti senyum terkembang.

“Baru pulang kerja?” Tanya Ayu.

“Iya baru pulang markir, bukan kerja.”

“Sama saja,” Ayu tersenyum tipis.

Perempuan yang berdiri di hadapan Singgih adalah bintang di hidupnya, bisa dilihat tapi tak tergapai. Sudah lama ia berharap bisa sekadar menawarkannya makan siang atau mengajak nonton bioskop. Tapi alarm dalam dirinya selalu berbunyi saat ia akan beraksi.

“Sadar diri Singgih, kerja masih jaga parkiran saja maunya yang mulus-mulus.”

“Baru pulang kerja?” Tanya Singgih.

“Enggak, habis dari ketemu kawan.”

“Oh, kawan yang mana?”

Pertanyaan apa ini? Singgih menyerapah dalam hati.

“Kawan yang biasa kumpul. Memangnya kamu kenal kawan saya?” Ayu membalas kebingungan.

“Pernah lihat saja.” Singgih serasa ingin melempar dirinya ke dalam lemari dan menguncinya rapat-rapat.

Ayu menyungging senyum melihat Singgih yang salah tingkah. Biasanya jika sudah seperti ini, Ayu akan melemparkan peluru-peluru mautnya berupa senyum merona dengan tatapan anak kucing minta dibawa pulang. Namanya perempuan, memelihara penggemar adalah sebuah kewajiban.

“Singgih, ada yang mau dibicarakan?” Tanya Ayu. Singgih hanya bisa melongok.

“Soalnya dari tadi kamu diam saja. Tidak kasih saya lewat juga, hanya matamu saja yang berputar-putar ke sana kemari. Ada yang dicari?”

Astaga, sudah berapa menit Singgih salah tingkah, sampai-sampai tidak sadar sudah menghalangi Ayu untuk melintas.

Eh, tunggu, tapi kan dia tidak segemuk itu,” pikir Singgih setelah menyadari sisi kanan kirinya cukup luas untuk disisipi seorang Ayu. Tak perlulah Ayu berucap seolah-olah Singgih menghadangnya.

“Ma..maaf, silakan.” Singgih bergeser sedikit, Ayu pun dengan perlahan menyisip. Ada aroma vanili mengayun saat ia melintasinya.

Begitu mereka sudah saling memunggungi, benak Singgih mendadak berceloteh. “Kamu bisa melintas tanpa saya bergeser, kamu menunggu saya mengatakan sesuatu!” 

“Ayu!” Sergah Singgih.

Ia menarik napas dulu dalam-dalam lalu mengucapkannya. “Be.... Besok malam mau makan malam?” Tanyanya hati-hati.

“Dengan siapa?”

“Sa...Saya.”

Ada penolakan dirasa Singgih. “Sial seharusnya saya tidak nekat begini.”

“Boleh, saya selesai shift jam sembilan, kamu jemput saya, ya.” Ayu menyahut manis tanpa jeda ragu sama sekali, melontarkan jawaban yang tak terduga oleh tukang parkir ini.

Singgih langsung tidak jadi mengunci dirinya di dalam lemari, matanya langsung berbinar antusias.

 “Ya...Ya. Akan saya jemput! Pasti!” Singgih membalas yakin, kepalanya mengangguk-angguk mirip boneka di dasbor mobil.

Setelah berpisah benar-benar, Singgih kembali melanjutkan penyisiran lorong kampungnya. Hanya saja kali ini ia tak lagi menunduk, langkahnya mendadak ringan, melambung begitu saja. Setelah dua tahun lebih hanya memuja diam-diam, besok ia akan makan malam bersama gadis pujaannya. Akhirnya.

Sesaat Singgih lupa dengan janji Bima yang mau mengajaknya bekerja, sudah setahun lebih janji itu terucap, tapi ia tidak kunjung kembali ke parkiran apotek. Lama sudah Singgih patah arang, kalau memang takdirnya menjadi tukang parkir, mau apa lagi. Ah, sudahlah!

….......

Kamar itu terasa sumpek dengan jendela yang berbentuk satu lajur sirip-sirip kaca nako. Satu kipas angin yang tertanam di dinding sama sekali tidak menyelamatkan suam udara yang memadat karena ia hanya berdengung meniup udara panas yang tersimpan di dalam kontrakan tiga-langkah-mentok ini.

Singgih, untuk ke sekian kalinya menyimak rupanya di depan cermin, melakukan senam muka, menyisir rambut ke belakang, dan memastikan tidak ada lubang di baju terbaiknya.

“Pukul sembilan, pukul sembilan, tiga puluh menit lagi pukul sembilan.” Gumamnya di depan cermin. Tungkai kakinya tidak berhenti bergoyang, ini yang terjadi kalau ia terlalu gugup.

Lihat selengkapnya