Tiga BMW Hitam mentereng dengan tipe yang berbeda terparkir rapi di Green Forest Huis, menandakan sebuah pertemuan remang-remang lainnya kembali dirancang oleh Setyo, namun sekali ini tidak dengan rekan politik, tapi dengan Vidya dan Julian.
Setelah berhasil merayu Harto, Setyo kini memasuki tahap kedua strateginya, memastikan naskah undang-undang yang dia rancang diterima. Untuk itu ia perlu kekuatan besar berupa uang dan pengaruh, dan keduanya dimiliki Victoria. Kedua calo ini adalah penghubungnya.
“Kamu meminta pertemuan secara pribadi, dan tidak ada perwakilan Pras di sini. Luar biasa! Katakan rencanamu.” Vidya langsung menembak.
“Masih ingat dengan ucapan saya untuk menyingkirkan Falah?” Ujar Setyo.
Vidya mengangguk.
“Berikan ini kepada Alice.” Setyo menjulurkan amplop putih tersegel.
“Ini saja?” Vidya menerimanya dengan raut bertanya.
“Tidak, saya juga butuh modal.”
“Untuk apa? Kalau urusan dana Kindra sudah dipegang Pras semua. "
“Tujuh ratus ribu dolar”.
Julian si bidak setia tergelak keras. Lebih seratus juta dolar disetor tiap tahun ke rekening mereka Kindra dan Setyo harus bingung dengan nilai sekecil itu? Pikir Julian.
“Dikali 220 orang.”
Setyo menambahkan, membuat tawa si bidak hilang, menyisakan mulut menganga.
“Kamu mau jadi sinterklas untuk seluruh parlemen!” Vidya pun turut histeris. Tidak ada orang yang melakukan penyuapan semasif itu.
“Setengah, setengah parlemen saja,”
Tetap tak habis pikir. Vidya tertumbuk akal. Biasanya, kecurangan, korupsi, dan segala tetek bengeknya dilakukan diam-diam. Tetangga tidak boleh mendengar. Bicara pun berbisik. Tapi Setyo berbeda. Ia tidak ingin berbisik, ia ingin menyuarakan dengan lantang.
“Kamu mau membeli mereka semua? Memang bisa begitu?”