Rumah itu ada di tengah bukit, pepohonan meranti dan beberapa pinus tumbuh mengelilinginya, serupa lukisan dinding yang biasa dijual seniman jalanan di tengah kota tua. Syahdu, begitu suasana yang terlihat. Rumah tengah bukit, pepohonan, angin yang bertiup lembut, dan sebuah keluarga kecil yang sedang bersepeda keliling bukit. Salah satunya sepeda tandem, dinaiki oleh dua gadis kecil.
Dibanding sepeda kedua orang tuanya, sepeda tandem gadis kecil ini terlihat mencolok karena warnanya kuning menyala disertai rumbai-rumbai di kedua tepi setangnya, serupa peserta pawai kemerdekaan.
Hampir setiap akhir pekan Falah, si bakal calon presiden ini, mengajak keluarganya ke rumah singgah untuk bersepeda menerabas ilalang dan menikmati kontur bukit yang tak rata. Nanti sesampainya di puncak, mereka akan menggelar tikar kecil dan duduk bersama di gazebo kayu untuk makan roti isi dan berbincang kecil ala keluarga.
“Minggu depan saya harus menemui guru Mila, ia kemarin mengerjai temannya lagi,” ujar Nina sang Ibu. Tangannya cekatan menuangkan teh yang mengepul dan menyiapkan cemilan.
“Mila.” Falah memanggil putri sulungnya yang sedang sibuk main karate dengan adiknya. “Kamu apakan lagi temanmu?”
“Cuma iseng saja, dia saja yang berlebihan menanggapinya,” Mila merespons tanpa menoleh.
“Iseng yang bikin berdarah, Pak,” sahut Mira, anak kedua Falah.
“Diam! Anak kecil enggak usah ikut-ikutan.” Hardik sang kakak.
Falah hanya bisa menghela napas mendengar anaknya berdebat perbedaan usia. “Kenapa bisa sampai berdarah, Mila?”
“Jatuh karena melihat ular karet yang dimasukkan Mila ke tasnya,” Mira bantu menjawab.
“Ssttttt!" Mata mila melotot ke adiknya.
Falah justru tergelak melihat lakon kedua gadis kecil yang sibuk beraksi karate tidak jauh darinya, rautnya kembali cerah setelah segala tentang pemilihan membuatnya suram. Belum lagi proposal-proposal yang masuk dari para pelobi dan rancangan program kampanye yang tidak kunjung selesai, mau muntah rasanya.
“Santai saja,” Nina mengurut punggung suaminya lembut. “Menjadi presiden tidak serumit itu.”
“Ya, saya berusaha membuatnya simpel, tapi orang—orang itu, partai, korporat, mereka membuatnya sulit.” Falah menerangkan.
“Masih lebih sulit daripada mengurus dua gadis itu yang sebentar lagi remaja?” Ujar Nina sembari memberikan senyum hangat khas istri setia. Tensi Falah langsung mendingin, Nina memang selalu tahu caranya meredakan situasi.
“Bagaimana kalau saya tidak terpilih?” Falah bertanya ragu, matanya sendu menatap wajah istrinya yang masih belum hilang senyumnya.
“Saya tidak peduli, saya memang tidak menikahi presiden.” Nina membalas sambil membelai halus wajah tua di depannya, yang jenggot putihnya sudah memenuhi dagu dan setengah pipinya, jawaban sederhana yang membuat hati Falah teduh.
Ia tadinya sempat khawatir kalau istrinya akan berpendapat sama seperti Ibu wakil presiden yang terang-terangan menyatakan “boleh saja bapak maju lagi, tapi masa wakil lagi.”
Sejurus kemudian, sebuah telepon tak dikenal membuyarkan keseruan keluarga ini, suaranya berat dan dalam, bisa dipastikan dia menggunakan alat untuk menutupi suaranya. Dia hanya mengatakan, “Setyo akan menghampirimu, hati-hati.”
Falah tidak paham, mengapa harus hati-hati dengan wakil ketua parlemen. Meskipun ia sudah mulai terbiasa dengan ancaman, tapi baru kali ini ada ancaman yang membawa-bawa nama petinggi negara.
Nina menangkap telatah gelisah suaminya, kesuramannya kembali. “Ada apa?”
“Biasa, telepon ancaman.”
“Lagi?”
“Semakin ke sini, semakin sering.” Falah berkata lirih. Nina hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkannya. “Kita pulang sekarang, tidak apa-apa, kan?”
Nina mengangguk tanpa suara. Ia langsung memanggil kedua putrinya yang kini sibuk mencoba tendangan memutar di udara.
“Ayo pulang!”
..........
Kejutan sudah menunggu Falah di rumah singgahnya, ada dua mobil terparkir di halaman dan delapan orang yang berdiri di depan rumahnya. Enam di antaranya berwajah kurang bersahabat, sementara dua lainnya adalah Setyo dan Lintong.
“Selamat siang Falah,” Setyo mengulurkan tangannya.
Falah gugup, telepon tadi bukan pepesan kosong seperti yang sudah-sudah, Setyo benar-benar menghampirinya. Padahal tidak ada yang tahu alamat rumah singgah ini. Dengan lekas ia menyuruh Nina dan dua putrinya masuk ke rumah, keenam orang yang berdiri sporadis itu menunjukkan kalau mereka bukan orang-orang intelek. Mereka lebih mirip preman bayaran, legam, besar, berbaju ormas dan terlihat ingin makan manusia.
“Silakan duduk,” Falah menyilakan. “Teman-temanmu yang lain perlu kursi juga?” Tangannya menunjuk keenam orang tersebut.
“Tidak perlu, mereka hanya mengawasi.”
“Ada yang bisa saya bantu?”