Hidup harus tentang kiri atau kanan, hitam atau putih. Tak ada ruang untuk abu-abu, tak ada tempat untuk jalur tengah. Kalah atau menang, itulah definisi hidup sesungguhnya.
Malik merasa harus mengambil sikap. Proyek sebesar ini, tak mungkin bisa bermain dua kaki. Proyek Kindra tidak akan berhenti, tapi kekuasaan yang mengaturnya bisa beralih. Sungguh akan menjadi tragedi terbesar dalam hidupnya jika memilih kubu yang salah. Lagi pula ini politik, kalau satu pihak lebih menguntungkan, sah-sah saja meninggalkan pihak lainnya.
Sejak Malik mengetahui kalau Setyo dengan nekatnya menghampiri Falah dan mengancamnya, ia yakin Falah akan hilang dari bursa pencalonan. Tinggal Prasasti dan ambisinya yang sudah setengah tercapai.
Meskipun undang-undang tiga periode sudah diketuk, tak berarti Pras bisa menang. Ia akan melawan Setyo sebagai calon yang muncul dari parlemen. Pras akan kewalahan, tidak mungkin ia melawan seseorang di dalam rumahnya sendiri.
Malik akhirnya memantapkan diri untuk menjadi kutu loncat.
Malik sedang berselonjor di sofa ruangan Setyo saat si wakil ketua kembali ke ruangannya usai sidang.
“Mau apa kamu di sini? Kenapa tidak bersama Pras, ia pasti sedang nonton bareng di istana,” tanya Setyo.
“Ya, mereka semua di sana.”
Setyo menangkap kata mereka yang dimaksud Malik, para pemain utama proyek Kindra.
“Kamu tak diundang?” tanya Setyo
“Tentu saja saya diundang,” Malik menjawab cepat.
“Tapi saya tak tertarik,” tambahnya.