Kalau ada satu orang yang suka membuat seisi istana repot di pagi hari, dia pasti Prasasti. Kebiasaannya untuk berlari keliling istana tepat pukul enam berhasil membuat paspampres-nya kelimpungan. Pasalnya, ia kadang suka iseng membuka gerbang dan mengajak warga berlari bersamanya. Warga riang, paspamres sawan.
“Hai Bim.“ Sapa Pras ketika melintas di depan Bima yang baru datang. Bima hanya mengangguk pelan.
“Sekali-sekali ikutlah, biar sehat.” Ajak Pras.
“Saya sudah sehat, pikiranmu yang sakit.” Balas Bima seadanya. Mungkin di negara ini, hanya dia yang bisa menghina Pras tanpa takut sama sekali.
“Pemalas! Nanti jam sembilan ke ruangan saya, ya.”
Pukul 9.00
“Ada apa?” Tanya Bima setelah masuk ke ruangan presiden tepat pukul sembilan. Pras yang sedang bersama staf istana lainnya langsung mengkodekan mereka untuk angkat kaki.
Mereka semua berlalu dengan ekspresi cemberut ditekuk, kesal karena merasa Pras menganakemaskan Bima. Hubungan mereka memang spesial.
“Sudah tahu berita tentang kematian Jafar kemarin?” Tanya Pras.
“Tentu saja, saya akan melayatnya nanti siang. Saya juga sudah mengatur jadwalmu untuk datang.”
“Terserah!” Pras tak peduli.
“Falah juga menjadi korban, hanya saja ia selamat.” Ujar Pras.
“Menurutmu pelakunya sama?”
“Sudah pasti.”
“Setyo?"
“Dia tidak segila itu. Falah melakukan transaksi dengan mafia, sebuah konsorsium kapitalis raksasa.”
“Siapa?”
“The Fourth, siapa lagi memangnya.”
Bima terperanjat. “Sejak kapan dia berhubungan dengan mereka?”