Malam gelap berawan, lantun pengajian pun sayup terdengar dari pengeras suara mesjid di pemukiman yang hanya titik-titik cahaya dari tempat Falah berada. Tidak ada satu lampu pun menyala di rumah singgahnya. Falah duduk dalam kegelapan, menyembunyikan kehidupan di dalam rumah.
Samar-samar ia mendengar suara teriakan Mira mengejar Mila. Sayup-sayup ia merasakan rayapan urutan lembut di punggung diiringi suara halus istrinya. Sungguh ia telah menjadi korban dari politik, korban dari ambisinya sendiri.
Linangan air mata melintas di wajah Falah. Penyesalan mulai terasa menyakitkan. Ia kehilangan segalanya. Anak, istri, sahabat, pendukung, dan kepercayaan dari masyarakat, semuanya.
Satu-satunya hal yang mendekatinya adalah panggilan pengadilan dan kematian dari The Fourth, entah mana yang akan datang awal.
Tangannya meraih secarik kertas yang diberikan Pras kemarin siang dari sakunya, “apakah hanya ini jalan satu-satunya?”
Pelan-pelan ia berusaha mengingat kembali setiap detail ucapan Pras tentang rencana ini, memastikan tidak ada kesalahan dalam prosesnya.
“Saya ada kenalan yang bisa membantumu, dia akan menghilangkan eksistensi dirimu untuk sementara. Kamu ikuti saja prosesnya, dia akan membuatkan identitas baru lalu membawamu ke sebuah tempat terpencil, mungkin di luar pulau. Kamu akan hidup di sana untuk beberapa tahun. Jika semua tentang dirimu telah terlupa, kamu bisa kembali lagi, tapi identitasmu sebagai Falah akan hilang selamanya.”
Falah berpikir, setidaknya dengan rencana ini keluarganya pasti masih mengingat dirinya meskipun identitas aslinya telah dihapus. Cukupan untuk dirinya menempuh cara ini sebagai jalan keluar sementara, setidaknya lebih baik dari mati.
Ia memperhatikan tulisan di carikan kertas itu, Cleaner 46. Lalu ada deretan angka di bawahnya, sebuah nomor telepon. Lama ia memandang kertas itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menghubunginya.
“Hallo, Rumah konstruksi, supermarket untuk kebutuhan rumah anda, ada yang bisa saya bantu?” Suara gadis imut menjawab panggilan Falah.
Ia diam sejenak, lalu mengecek kembali layar ponselnya, memastikan ia tidak salah sambung.
“Ya, halo.” Balasnya setelah yakin nomor tersebut benar.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau pesan Cleaner 46.”
“Ouw.” Si gadis terdengar kaget dengan pesanan Falah.
“Tunggu, yah.”
Setelah setengah menit menunggu, suara imut tadi beralih ke suara parau laki-laki.
“Lima jam lagi, tunggu jemputan di depan halte ujung jalan wilayah Barat. Jangan mencolok, bawa uangnya.” Ujarnya singkat dan langsung memutus teleponnya.
Falah melirik jam tangannya, lima jam lagi berarti pukul satu malam. Ia lalu mengambil komputer kerjanya di meja ruang tamu untuk melakukan langkah terakhir. Tetikusnya dengan cepat mengarah ke logo bawang berwarna ungu, sebuah browser yang membuatnya berselancar secara anonymus.
Ia menggali lagi sebuah dokumen yang ia tanam dalam-dalam di sebuah server di deep web. Pras meminta dokumen lengkap terkait rahasia kelam The Fourth, rahasia yang membuat Jafar mati dan dirinya menjadi rusa buruan.
Pras mengatakan akan membawa The fourth ke pengadilan dengan bukti dokumen tersebut, dan setelah konsorsium tambang tersebut terjeblos ke penjara, barulah Falah bisa kembali ke kota ini.
Jarinya mengarahkan tetikus ke tulisan send di badan surat elektroniknya, namun masih tersisa sedikit keraguan dalam dirinya. Tadinya, semua dokumen ini adalah kartu AS nya untuk menggilas Pras di pemilihan, tapi malah berbalik menjadi senjata makan tuan. Lebih parah, rivalnya justru akan memilikinya sekarang.
“Persetan semua ini.” Dan seluruh dokumen pun berpindah tangan dengan sekali klik.
***
00.50
Tidak banyak orang lalu lalang di halte ini. Falah bahkan tidak perlu mengenakan topeng atau penutup kepala demi menutupi identitasnya. Pria bersuara parau sepertinya tahu kalau tempat ini sangat sepi dan gelap di malam hari.
Sesekali Falah melemparkan pandangannya ke gedung-gedung tinggi apartemen yang berada di seberang jalan ini, berusaha merekam titik-titik lampu di puncaknya. Ia akan meninggalkan sejenak peradaban kota ini. Perkiraannya, ia akan dibawa ke sebuah pulau terpencil yang penduduknya tidak lebih dari seratus kepala keluarga.
Tepat pukul 01.00, sebuah mobil van hitam berhenti di depan halte ini. Falah merespons dengan mendekap erat tas berisi uang tunai 900 ribu dolar yang akan dijadikan ongkos transaksi ini. Jumlahnya sedikit berkurang dari yang disampaikan Pras, tapi hanya ini yang ia miliki.
Seorang pria misterius keluar dari pintu sopir, memutari badan mobil untuk menggeser pintu van di hadapan Falah. Kepalanya bergerak menyuruh Falah untuk masuk. Wajahnya tak terlihat jelas karena ia mengenakan topi dan jaket dengan kapucon berwarna hitam, tapi yang jelas tubuhnya tinggi dan tegap.
"Kamu cleaner 46?" Falah memberanikan bertanya.
"Bawa uangnya?" Pria tersebut membalas. Suaranya parau, sama dengan yang di telepon.
"Ya, tapi,-"
"Cepat masuk." Potong pria itu.
Dengan sedikit enggan Falah menuruti perintahnya. Ia melangkah ke dalam van sambil mendekap erat tas uangnya. Sesaat pria misterius itu menutup pintu dengan keras, saat itu pula Falah tersadar ia terputus dari dunianya, terputus dari jati dirinya sebagai Falah Malomo.
Dalam perjalanan selama dua jam ini tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka, kebisuan seolah-olah menjadi cara baru dalam berkomunikasi, saling sunyi tapi saling memahami kepentingan masing-masing. Melalui jendela yang setengah pekat Falah tahu ke mana ia dibawa. Kota satelit, sebuah kawasan industri baru.