KINDRA

krkawuryan
Chapter #21

Abnormal

“Ngomong-ngomong, kamu masih berminat dengan tawaran saya yang dulu?” Bima berucap ke Singgih yang sejak pagi tadi hanya merunut kolom kerja di koran.

Ia hanya sempat menoleh sebentar, tapi tak berbicara barang sepatah kata pun. Bagaimana mungkin ia mempercayai orang yang menggantungnya satu tahun.

“Singgih saya tidak akan bertanya dua kali. Kamu mau atau tidak?” Bima mengulangi. "Mencari pekerjaan di koran itu susah, lebih mudah kamu ikut saya, jelas, nyata."

Singgih menutup koran dan melipatnya. “Kapan mulai kerjanya? Hari apa?” Nadanya menyindir.

“Sekarang! Kamu akan langsung mendapatkan pekerjaan tersebut sekarang jika ikut saya masuk ke dalam mobil. Nanti saya jelaskan apa dan bagaimana pekerjaannya. Tapi kita makan siang dulu, saya lapar.” Bima mengusap perutnya.

“Sekarang?” Singgih memperhatikan manusia jangkung yang berdiri di sebelahnya.

“Ditunggu berbulan-bulan tidak ada harapan, sekalinya muncul langsung ajak kerja. Apa maunya takdir ini?”

“Bagaimana?” Bima kembali menanyakan.

Singgih kembali membuka korannya. “Saya butuh waktu untuk memikirkannya.” Ujarnya sok jual mahal.

“Sorry Singgih, I have no time, jika kamu tidak berminat, saya akan mencari orang lain.” Bima beringsut kembali ke mobilnya.

“Tunggu tunggu!” sergah Singgih dan langsung berdiri mendadak, menyesal karena adegan sok jual mahalnya tidak berbuntut apa-apa. 

“Setidaknya kasih saya waktu untuk mengarahkan mobil itu keluar.” Telunjuknya mengarah ke mobil yang mau keluar dari parkiran wilayahnya.

“Kamu ikut saya sekarang, setelah itu kamu tidak membutuhkan recehan itu lagi seumur hidupmu!” Bima menggeram. Ia mulai sangsi Singgih bisa memenuhi strateginya Pras.

Singgih bingung menanggapinya, ia antara ingin memarkirkan mobil atau ingin menghampiri Bima. Kakinya bergerak tak beraturan, melangkah ke sana kemari seperti anak ayam hilang.

Setelah kaki dan keinginannya mulai terkoordinasi, Singgih berhenti dan menarik napas, membayangkan betapa bahagianya Ayu jika ia memiliki pekerjaan yang lebih bermartabat dan memberi kepastian.

Setidaknya ia punya hal yang layak disebutkan saat melamar gadis itu nanti. Singgih pun melangkah mantap ke arah Bima, masuk ke dalam mobil mewahnya. Menjemput takdirnya yang gila.

Sekali ini Bima tidak membawa Singgih ke restoran padang lagi, tapi ke Ritz Carlton. Padahal ia lebih ingin melihat atraksi uda-uda membawa piring ketimbang melihat koki bertopi tinggi. Makanan Padang terakhirnya memang bersama Bima tempo lalu. Setelah itu, ya, mi rebus lagi setiap hari.

Saat mobilnya berhenti di depan lobi, Singgih mendongak memperhatikan dua pencakar langit kembar di hadapannya. Dua orang berseragam putih dengan sigap membukakan pintu tempat Singgih duduk. Ada bentangan karpet merah beludru menyambutnya, mengarah tepat ke meja resepsionis di dalam hotel.

“Ayo kita makan dulu,” ajak Bima. Singgih mengikuti langkah Bima ke arah dalam, lalu berdiri berjarak saat Bima berbicara dengan resepsionis. Sekejap saja, sebuah kartu kamar sudah diterimanya.

“Kenapa kita makan di sini?” Tanya Singgih. Tempat ini terlalu sensasional untuk tawaran kerja menjadi cleaning service.

“Akan lebih mudah untuk membicarakan pekerjaanmu jika kita di sini.”

“Lebih mudah atau lebih tertutup?” Singgih menyidik.

Lihat selengkapnya