Untunglah semilir angin berhembus murah hati di siang yang terik ini. Kalau tidak Bima dipastikan akan mandi keringat di dalam bekas pabrik tak terpakai ini. Jika bukan atasannya, Bima tak akan pernah setuju melakukan pertemuan di sini.
Ada kubangan di bagian tengah tempat ini, dibuat oleh air hujan yang menerobos masuk karena atapnya sudah hilang entah ke mana, menyisakan rangka besi karatan yang saling silang. Di tepinya, ada kursi lipat hitam dan peralatan pancing. Bima menatap heran ke arahnya.
“Kamu kira kamu sedang piknik, dasar orang tua bodoh,” gumamnya dalam hati.
Tidak lama, suara decit ban terdengar dari depan rumah. Seseorang mengenakan jaket panjang dan topi bucket keluar dari mobil dan bergegas masuk. Gerak geriknya menandakan kalau ia enggan terlihat oleh siapa pun.
“Tidak bisakah kamu tepat waktu!” Hardik Bima tepat setelah orang itu melewati pintu.
“Maaf, tadi saya harus memberikan ucapan selamat kepada polisi yang membantu ibu-ibu melahirkan kemarin." Jawabnya santai sembari membuka topi dan jaketnya.
Tubuhnya kurus dengan postur agak pendek. Wajahnya tirus lonjong berkepala botak persis gambaran alien.
“Kalau saya memberi pujian, media akan meliputnya, bagus untuk publikasi. Kamu tahu kan, polisi negara kita sedang kehilangan kepercayaan.” Terang Rindra, kepala polisi yang dulu menyerahkan map kepada Pras yang ternyata berisikan nama-nama polisi yang sedang dalam misi penyamaran.
Tentunya ia hanya memberikan nama-nama yang bertugas untuk kasus sepele. Seperti yang menyamar jadi preman pasar untuk membongkar pemalakan, atau menyamar jadi tukang bakso untuk intel bandar narkoba.
Ia tak menuliskan nama Bima di dalamnya, karena penyamarannya sebagai Kepala Sekretariat Presiden terlalu strategis untuk diungkap. Nyawa taruhannya.
“Publikasi? Kamu terlalu haus pujian.” Ujar Bima.
“Kita memang sedang mengintai Pras, tapi saya tetap harus mengesankan dia dengan pekerjaan saya.” Rindra mengambil tempat di kursi lipatnya.
“Pras sudah dapat orang yang akan menjadi calon boneka.” Ujar Bima.
Rindra tercenung dengan pandangan lurus ke kubangan, “keluar juga taringmu Pras!”
“Lantas, bagaimana progres proyek Kindra?” Tanya Rindra.
“Masih misteri, saya belum tahu itu apa dan di mana. Pras menyimpannya dengan sangat rapat.”
“Sudah saya bilang, gunakan alat penyadap!"
“Cuma ada tiga orang di istana yang punya akses ke ruangan Pras. Saya salah satunya. Mudah sekali ketahuan kalau ada yang menerobos masuk. Lagi pula setiap pagi ruangan itu disterilkan oleh Paspampres.”
“Ada protokol semacam itu?”
“Hanya sejak jaman Pras.”
Rindra menggeleng-geleng, “ternyata memang serapih itu cara Pras bekerja.”
“Berarti kamu belum dapat apa-apa?” Rindra mengonfirmasi.
“Apa maksudmu? Menurutmu informasi barusan tidak berguna?”
“Jelas tidak! Saya hanya mau penjelasan tentang proyek Kindra. Sudah tujuh belas tahun kita menyelidikinya, hanya nama Kindra dan Victoria yang kita dapat. Kita tidak tahu itu apa, bagaimana ia bekerja, apa yang diambilnya dari negeri ini. Dan yang utama, kita tidak dapat membuktikan keterlibatan Pras di dalamnya.” Rindra mengingatkan progres mereka yang tak sesuai harapan.
Bima meradang. “Saya bekerja sendiri. Ingat itu!” Telunjuknya mengacung di depan orang tua ini.
“Kamu bilang saya hanya perlu menyamar sepuluh tahun, tapi sekarang, sudah terlewat tujuh belas tahun! Nyawa saya dipertaruhkan, nyawa keluarga saya pun terancam. Sedangkan kamu, duduk manis di ruangan besar memikirkan publisitas lembagamu!”
“Jangan bahas ini lagi, kamu tahu saya pun berjuang untuk kasus ini.” Balas Rindra lirih. Ia selalu merasa kalah kalau berdebat tentang status Bima yang menggantung, polisi tapi bukan polisi.