KINDRA

krkawuryan
Chapter #25

Alibi

Humanitarian Summit World Istanbul.

Tulisan itu menyambut Singgih saat memasuki ruangan seminar. Menempel di dinding dengan latar belakang biru dan warna tulisan kuning cerah, memancing siapa saja untuk singgah dan berfoto.

Singgih mengamati tingkah orang-orang yang lebih meminati spanduk yang lebih mirip kertas dinding itu ketimbang pameran foto dan buku bertema pelanggaran kemanusiaan yang terletak di seberangnya.

“Apa menariknya berfoto dengan judul acara?”

“Cari namamu di absen itu, tandatangan.” Telunjuk Rayhan mengarah ke sebuah kertas kehadiran yang ada di atas meja, depan pintu masuk ruang seminar, ditunggui oleh beberapa gadis cantik pirang.

“Apa?”

“Registrasi ulang.”

Ia langsung merunut satu per satu nama di kertas tersebut dari atas sampai ke bawah, lalu membaliknya dan mengulangi hal yang sama, begitu terus sampai lembar terakhir.

“Kenapa tidak ada?”

Seorang wanita yang berdiri di belakang meja memperhatikan Singgih yang tampak kebingungan, lalu menyodorkan kertas lainnya kepada Singgih.

 “Excuse me, Sir.” Ujarnya beradab. Kertas baru yang disodorkan hanya satu lembar, namun lebih tebal dan sangat mengkilap, di bagian atasnya tertera VIP Delegates.

Tidak butuh lama baginya untuk menemukan namanya, berada tiga dari bawah. Ia langsung menorehkan tanda tangannya di kolom sebelahnya.

Wanita yang tadi memberi kertas langsung siaga begitu melihat Singgih membubuhkan tanda tangannya. Dengan gegas ia memanggil seseorang melalui radio panggil. Ia tak menyangka kalau Singgih seorang VIP, pasalnya Singgih lebih terlihat seperti turis hilang ketimbang tokoh penting, sendirian dan celingak-celinguk.

Dua orang wanita dengan langkah cepat mendatangi Singgih, “Mister Singgih Arwan, please,” ujarnya menyilakan.

Satu orang mendampingi Singgih, satu orang menunjukkan jalan.

“Hi, Mister Singgih, I am Sarah, your liaison officer. Let me know if you need something.” Wanita yang di sampingnya berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Scotish.

Engg, oke.” Singgih hanya mengangguk tidak paham.

“Please.” Ujar yang menunjukkan jalan tadi, menyilakan Singgih duduk di kursi baris nomor tiga dari depan.

Setengah jam acara dimulai, Singgih hanya mempelajari isi ruangan ini karena semua orang berbicara dalam bahasa yang ia tidak kenal. Terdapat podium besar dengan beda tinggi satu level dengan tempat duduk Singgih saat ini, serta layar besar berbentuk setengah oktagonal yang melatari panggung tersebut.

Di setiap meja ada sematan bendera kecil yang melambangkan negara atau simbol dari sebuah organisasi. Singgih melihat Rayhan duduk di baris pertama, ada bendera putih dan merah tersemat di mejanya. Singgih langsung menyadari kalau yang duduk di wilayah ini adalah perwakilan negara atau organisasi.

Setelahnya, ia memperhatikan bendera yang berada di mejanya, “lambang apa ini?

Seumur hidup belum pernah dirinya melihat lambang seperti ini. Berlatar warna kuning dengan gambar dua buah tangan berwarna biru menangkup bola dunia. Ia tidak paham itu logo apa meskipun bendera itu ia bolak-balik. Akhirnya ia meraih papan nama yang tertera di ujung mejanya.

Singgih Arwan, Senior Vice President Policy and Strategy, Global Rescue Association. Singgih celangap, jangankan artinya, ia bahkan kesulitan membacanya.

Setelah setengah jam lainnya, beberapa orang sudah bergantian berbicara di podium. Foto-foto orang yang tampaknya korban bencana kemanusiaan kerap ditunjukkan di layar besar di belakangnya, mulai dari korban kelaparan, sampai pengungsi korban pembersihan etnis, semua terpampang jelas.

Meskipun Singgih tidak paham apa yang mereka katakan, tapi Singgih tetap bergidik melihat sederet foto yang ditampilkan.

“Ternyata dunia memang mengerikan.”

Singgih perlahan menyadari kalau acara ini adalah untuk memberlakukan prosedur kongkret dalam menanggulangi krisis kemanusiaan di masa depan.

Lihat selengkapnya