Seumur hidup Bima, ia tidak ingat pernah mengalami hal yan lebih aneh dari pagi ini. Awalnya biasa saja, hanya sekedar seruputan teh di dalam ruangan Pras sembari membaca koran pagi, menunggu Pras yang sedang memeriksa jadwal kegiatan yang diberikan olehnya. Tapi, sebuah berita di koran membuat dagunya hampir terlepas. Ia kira berita UFO semalam di media independen sudah yang paling aneh, ternyata ada lagi yang lebih aneh.
“Ada apa?” tanya Pras yang memperhatikan raut temannya yang mendadak berubah.
“Singgih!” sahut Bima.
“Tukang parkir itu? Kenapa?”
“Ia muncul di koran!” Bima menunjukkan koran yang sedang ia baca. Foto Singgih terpampang di kolom itu. Diikuti judul yang sangat epik dan mengejutkan Pras.
Singgih Arwan, Pemerhati Kemanusiaan Dunia, Mengatakan Masih Ada Bencana Kemanusiaan di Negara Kita.
“Hahahahaha,” Pras tergelak.
“Belum ada satu bulan dia dibaptis jadi calon presiden, sekarang namanya sudah melejit. Kamu memilih orang yang tepat, Bim.”
“Tapi ini terlalu cepat, dia belum siap.” Bima menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Lalu partai mana yang akan kau minta untuk mendukung Singgih?” lanjutnya.
“Saya akan melepas satu koalisi untuk mendukungnya. Seharusnya itu cukup untuk memenuhi ambang batas.” Mata Pras menerawang melakukan hitung-hitungan jumlah kursi.
“Lalu, jabatan apa yang akan kamu berikan sebagai masa lalu Singgih di negara ini?”
“Salah satu direktur pusat penelitian kebijakan publik dan penggagas gerakan kemanusiaan cepat tanggap,” terang Pras.
“Saya baru dengar?”
“Memang tidak pernah ada, saya baru membentuknya, tapi seolah-olah sudah berjalan belasan tahun.”
Bima terpukau, ia kehabisan pertanyaan. Agaknya semua pertanyaan sudah disiapkan jawabannya oleh presidennya ini.
“By the way, komunikasimu dengan Malik terlihat renggang belakangan.” Bima memutuskan untuk beralih ke hal lain.
“Entah, mungkin ia beralih ke Setyo, mendukungnya menjadi presiden. Saya tidak peduli dengan dia, tinggal pecat saja kalau macam-macam.”
“Dia menteri strategis, sebaiknya kamu dekati dia lagi, jangan sampai rahasiamu ditukar dengan kesetiaannya untuk Setyo.”
“Dia tidak akan berani melakukannya.” Pras berujar remeh.
“Kenapa?”
“Karena dia bisa mati kalau melakukannya.” Pras menjawab dengan tatapan dingin.
“Bercanda! Mati kariernya! Hahahahahaha.” Ujarnya lagi.
Bima melempar pandangannya. Tak berani ia menatap orang di hadapannya ini. Samar-samar, ia bisa menangkap apa yang akan terjadi pada Malik di masa depan. Pras bukan orang yang ingkar kalau urusan pengkhianatan.
“Saya dengar kamu berhubungan dengan Rindra belakangan ini?” Pras gantian bertanya.
Bima membelalak, “ketahuan?” Keringat dingin mendadak membasahi tangannya. Jantungnya langsung dalam mode ritme cepat.
“Kamu tahu dia banyak membantu saya selama ini, dia memberikan nama-nama polisi yang sedang melakukan penyamaran kepada saya,” Pras melanjutkan.
“Untuk apa kamu meminta itu?” Bima berusaha terlihat normal, padahal ia gemetar setengah mati.
“Saya hanya mengatakan ini kepadamu. Saya merasa ada mata-mata di lingkungan istana ini,” bisik Pras tiba-tiba.
“MATI!”
Seluruh syaraf Bima bagai dialiri listrik ribuan volt.
“Si … Si….Siapa?” tanyanya tersendat-sendat.
“Belum tahu. Nama yang diberikan Rindra hanya polisi yang menyamar terkait premanisme, narkotika dan terorisme. Dia menyembunyikannya, saya yakin itu.”
“Untuk apa ada penyamar di sini?”
“Untuk memantau gerak-gerik saya.”
Bima merasa seperti mangsa yang terkunci.
“Apakah dia hanya menguji?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.
“Untuk apa memantau gerak-gerikmu? Kamu melakukan sesuatu yang ilegal?” tanya Bima setengah berbisik.
“Setiap presiden punya hal yang ilegal, Bima. Kamu Berhati-hatilah. Kalau benar kita kesisipan, kamu pasti juga menjadi target. Kamu orang terdekat saya, semua orang tahu itu.”
“Saya akan mencari tahu jika memang ada.” Tak menunggu lama Bima bangkit dan berjalan meninggalkan ruangan.
Ia berusaha menegaskan langkahnya seolah—olah tidak terjadi apa-apa. Setelah tujuh belas tahun, akhirnya bau bangkai ini akan tercium juga. Ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.
..........
Hampir setahun sudah Singgih berkeliling dunia, menghadiri setiap pertemuan tentang kemanusiaan atau sekedar berfoto di depan tragedi kemanusiaan. Semua demi menciptakan alibi untuk rekam jejaknya. Dia akan menjadi satu-satunya calon presiden yang jam terbang dan pengalamannya terbentuk dalam hitungan bulan.
Sudah tidak ada lagi jejak tukang parkir apotek dalam dirinya. Tubuhnya menjadi gemuk berisi, matanya cerah karena tak lagi makan mi tiga kali sehari, dan pakaiannya tidak lagi mirip karung goni.