KINDRA

krkawuryan
Chapter #27

Dermaga 13

Penampakan dermaga tiga belas tak jauh berbeda dengan terakhir kali Bima singgahi. Kesan kumuh, kelam dan gelap masih mendominasi. Sisa-sisa boks dan kontainer tak terpakai pun masih menyesaki. Penampakan crane berkarat di pinggir dermaga serta fork lift yang tersebar berserakan di sekitar dermaga menambah aura suramnya, bahkan cenderung mencekam.

Bima menyuruh sopirnya menghentikan mobil di gudang yang berada di ujung dermaga karena hanya gudang itu yang lampunya menyala.

Ada tiga mobil mewah berjajar rapi di depan pintu masuk gudang. Meskipun nomornya tidak melambangkan nomor dinas, tapi Bima yakin benar semua mobil ini punya pemerintah.

Tak lama, seseorang menggeser pintu gudang dari dalam, bias cahaya dari dalam menerangi tempat Bima berdiri.

“Bapak menunggu di dalam,” orang itu berujar hormat.

Bima otomatis menerjemahkan kata bapak yang dimaksud adalah Pras. Ia tak ragu mengikuti pria berpakaian safari ini. Dari seragam dan perawakannya, ia adalah salah satu dari Paspampres.

Sampai di bagian tengah gudang, ada Johar dan beberapa anak buahnya. Lebih ke tengah lagi, ada beberapa orang berpakaian safari berkumpul di dekat sebuah drum hitam.

Pras berada di antara mereka. Raut Bima bertanya-tanya, mau apa seorang presiden berada di dalam gudang tidak terpakai di tengah malam seperti ini.

“Bima!“ Panggil Pras.

Bima menghampiri dengan gugup yang sulit disembunyikan. Ditambah dengan tatapan mengerikan dari Johar dan anak buahnya, gugup itu semakin ketara.

Ada yang tidak beres, saya seharusnya tidak ke sini!" 

“Maaf mengganggumu malam-malam, semoga kamu belum tidur,” ujar Pras.

“Tidak apa-apa, saya tadi mengantar Singgih ke apartemennya.” Bima agak bergetar mengucapkannya.

“Oh iya, saya minta maaf atas ucapannya tadi kepada wartawan,“ lanjutnya.

“Lupakan itu, urusan kita malam ini lebih penting.”

Pras merangkul Bima dan mengajaknya berdiri di depan sebuah drum hitam. Ada warna hitam pekat melekat di bibir drum tersebut, bau dan teksturnya menjelaskan drum ini bekas pengangkut aspal.

“Masih ingat tentang mata-mata yang kita bicarakan tempo lalu?” tanya Pras seketika.

Agaknya Jantung Bima berhenti berdegap. “Selesai sudah!”

“Saya sudah menemukannya. Dia di dalam drum ini,” ucap Pras.

“Hah?”

“Sudah saya bilang ada penyusup di lingkungan kita, tapi kamu tidak percaya. Akhirnya saya meminta tolong Johar untuk menyelidikinya. Dia menggunakan bantuan peretas kenalannya untuk membongkar seluruh data staf kita di istana. Surprise! Kita punya seseorang berlatar belakang polisi dan tidak ia ungkapkan dalam CV-nya.”

"Apa yang salah dengan staf kita yang pernah mendaftar polisi dan lupa mencantumkannya dalam CV?" Bima nyengit

"Tidak dengan dia. Datanya masih aktif di kepolisian tapi wujudnya tidak terlihat. Dia bahkan tidak muncul di data intel yang Rindra berikan kepada saya.”

Pras meminta lembaran kertas yang dipegang salah satu pria bersafari, lalu menyerahkannya kepada Bima. “Baca sendiri!”

Bima terbelalak begitu membuka isinya. Di situ terpampang jelas data penyamaran orang yang selama ini bekerja di bawah hidungnya, lengkap dengan fotonya memakai seragam polisi.

Bima membolak-balik berkas itu dengan cepat, mencari apa ada data tentang dirinya di dalamnya.

Tidak ada.

Pras membuka penutup drum dan melemparnya. Suara berkerontang menggaung ke seisi gudang. “Kejutan, ternyata orang yang bekerja di bawah hidungmu adalah seorang penyusup!” Pras berujar penuh semangat.

“Ternyata nama aslinya bukan Wanda, eh, Winda,-”

“Wandi,” Bima mengoreksi pelan. Matanya menatap nanar. Tubuhnya bergetar hebat. Ada mata-mata lain selain dirinya.

Berdasarkan data, nama aslinya adalah Yudhi Abram. Ia sudah menyamar sejak tiga tahun lalu, itu artinya saat Pras terpilih menjadi Presiden kedua kali.

Bima selalu mengira kalau Wandi, NO, Yudhi adalah staf pindahan dari sebuah kementerian.

Di dalam tong, Yudhi meringkuk lemah dengan mulut tersumpal. Sebagian wajahnya sudah biru lebam tidak berbentuk akibat dipukuli. Baju putihnya sudah berubah kemerahan akibat bekas darah yang mengalir dari kepalanya. Beberapa tulang di tangannya terlihat patah, dan ia masih dalam keadaan sadar meskipun entah sudah berapa lama ia meringkuk di dalam sana.

“Pras, kamu tidak boleh melakukan ini!” ucap Bima gemetar.

“Saya percaya dengan intelijen saya dan lagi pula dia sudah mengaku,” jawab Pras.

Lihat selengkapnya