Satu minggu kemudian, sebuah tuntutan melayang ke Setyo. The Fourth memainkan perannya seperti yang Pras suruh, menuntut Setyo dengan tudingan palsu. Mereka seperti sapi tercucuk hidung, mengikuti ke mana pun Pras memandu.
Setyo dituduh melakukan pemerasan sebesar lima belas juta dolar kepada mereka. Berbagai bukti transaksi palsu sudah disiapkan, begitu juga dengan saksi dan alibi palsu.
Sang wakil ketua tidak siap dengan serangan fajar ini.
Beberapa hari setelahnya, tuntutan semakin menjadi-jadi. Bergulir begitu saja seperti bola salju. Membesar tanpa diminta. Berita seperti tidak puas-puas mewartakannya. Mendadak semua strategi Setyo mubazir, namanya seketika amblas ke dalam kerak bumi.
Semua berita tentang Setyo hanya itu-itu saja.
‘Setyo memeras. Setyo mengancam. Setyo korupsi.’
Sedangkan berita tentang Singgih kebalikannya.
‘Sang penyelamat kemanusiaan. Pejuang HAM. Keturunan asli dan seiman.’
Siapa sangka strategi Pras ini berbuntut panjang. Padahal di awal, dia hanya berniat untuk memperburuk citra Setyo. Tapi malah bisa menjegalnya sekalian. Strategi memecah suara pemilihan pun tak lagi penting. Setyo tidak akan bisa melaju lebih jauh lagi.
Apa yang menimpa Falah kini menimpa Setyo. Orang-orang membencinya, kolega meninggalkannya, ia sendirian berjuang untuk tetap menjadi calon presiden. Pras benar-benar mendapat durian runtuh.
Lebih parah, dua koalisi dari partainya Setyo berikrar mendukung Singgih. Tinggal menunggu waktu kalau partainya akan menyingkirkannya dengan halus dan perlahan. Para anggota parlemen juga sudah lupa dengan Setyo yang pernah mengajaknya rapat malam-malam dan mengetuk ruang kerja mereka untuk menyerahkan kantong kresek berisi 70 ribu dolar. Mereka mendadak amnesia dengan yang namanya Setyo.