‘Singgih Arwan, Presiden Masa Depan.’
Begitu tulisan spanduk raksasa yang tersebar di berbagai kota. Di sudut kota lainnya, ‘Pilih Singgih, UMR naik, BBM dan Listrik Turun.’
Singgih hanya geleng-geleng melihatnya, tidak mengerti siapa yang membuat spanduknya. Untunglah ia cuma presiden bohongan, karena ia meyakini kalau si pembuat spanduk ini pasti tidak mengecek keuangan negara dulu sebelum mencetaknya. Itulah mengapa spanduk itu masuk kategori janji politik.
Suasana ibu kota yang memanas dan mencekam tidak mempengaruhi Singgih dan timnya. Ia sudah memulai tur kampanye ke banyak kota dan desa. Beberapa bulan yang lalu, ia tidak pernah membayangkan akan punya kesempatan naik pesawat dalam hidupnya. Tapi sekarang, ia bahkan terbang lebih dari empat kali dalam seminggu. Lebih banyak dari minum obat.
Singgih sudah memiliki tim suksesnya yang terdiri dari juru kampanye, para pakar, para pengusaha, dan juga pasukan penyebar HOAX.
Tidak ada label tukang parkir tertinggal di dirinya, ia secara utuh telah menjadi rival Pras. Kemampuannya berpidato dan mengkritik pemerintah bahkan lebih baik dari Pras yang terdengar nyeleneh.
Hari ini sudah masuk bulan keempat ia berputar keliling negeri, melihat pelosok negeri ini yang ternyata jauh lebih ‘tandus’ dari yang ia kira.
Kehidupan di desa ternyata sangat menyedihkan, tidak heran mereka berlomba ke ibu kota. Pras dan presiden sebelumnya tidak pernah membangun sampai ke sini. Keluhan demi keluhan terus keluar dari warga yang terlupakan oleh Pras ini. Singgih mulai merasa Pras tidak becus mengatur negara. Ia mencatat semua masukan dan berencana memberikan ke Pras setelah dilantik nanti.
Di setiap perjalanan, Singgih selalu menemukan kisah dan masalah yang beragam. Namun, ada satu masalah yang tipikal membayangi Singgih. Ia menyadari kalau setiap wilayah yang ia datangi mengalami kekeringan dan gagal panen.
Tapi ajaibnya, setiap kali ia memeriksa catatan notulen asistennya, tidak ada satu pun yang merekam tentang itu. Saat ditanya pun tidak ada yang menyadari tentang kekeringan.
“Lantas, apa yang kalian catat?”
Para asisten hanya ingat kalau masalah kekeringan memang beberapa kali di protes warga, tapi karena dianggap tidak penting, maka tidak masuk notulen, apalagi agenda pekerjaan.
“Toh, kalau musim hujan air mereka akan kembali,” itu yang ada dalam benak mereka.
Tidak sama dengan asistennya yang rata-rata sarjana, Singgih justru berpikir sebaliknya. “Apa mereka tidak sadar kalau sekarang sudah masuk musim hujan,” pikir Singgih.
Kecurigaannya bertambah dengan debit air yang sangat sedikit di setiap waduk yang ia temui. Penduduk setempat mengatakan debit air menurun sangat cepat meskipun sudah terisi penuh di hari sebelumnya.
Akhirnya Singgih memerintahkan timnya untuk mencari apakah ada industri yang beroperasi di sekitar wilayah yang kekeringan. Semuanya memberikan jawaban yang sama, tambang gas bumi perusahaan lokal.
Insting Singgih mulai bekerja, firasatnya mengatakan ada hal besar di balik tambang itu. Sesuatu yang mengakibatkan bencana lokal ini.
Sepulangnya kampanye, ia meminta beberapa timnya untuk mencari tahu korporasi yang bernama Kindra, nama dari perusahaan tambang gas bumi yang dilihat Singgih di beberapa wilayah.
Semua kolega bertanya-tanya mengapa Singgih menaruh perhatian lebih kepada isu ini. Mereka berulang kali menjelaskan kalau isu tentang agama atau suku lebih cantik untuk diangkat ketimbang memikirkan debit air yang berkurang. Tapi Singgih tak peduli, ia akan bersikeras kalau rasa penasarannya sudah terusik.
Tidak sampai 2x24 jam, para tim ahli yang ditugaskan Singgih untuk mencari tahu datang membawa secuil informasi dan seraut wajah kesal. Mereka lagi-lagi mengatakan kalau sebaiknya Singgih jangan pikirkan isu remeh macam ini, fokus saja mencari keburukan Pras, apa pun itu.
Urusan masyarakat cukup ‘diiyakan’ saja, tak perlu serius. Nanti kalau sudah jadi presiden, baru mulai fokus ke mereka. Kalau sempat.
Singgih ingin sekali menjejali mulut mereka dengan sendal jepit yang sedang ia pakai.
“Ini semua temuan yang saya dapatkan.” Salah satu dari mereka menjelaskan. Ia membuka lipatan secarik kertas yang sudah agak kumal, basah dan merembes tintanya. Jelas sekali mereka tak peduli dengan informasi yang dibawa.
“Kindra itu sebuah perusahaan gas bumi, tambangnya tersebar di seluruh penjuru negeri, ia melakukan penggalian di banyak titik. Meskipun banyak, tapi bukan tambang yang besar, hanya kecil-kecil saja, jumlah produksinya juga tidak banyak. Namun meskipun begitu mereka punya jalur pipa sendiri untuk mengirim hasil gas buminya.”
Singgih mengangguk-angguk mendengarkan, lalu diam menunggu kelanjutan. Tapi sayang, bukannya melanjutkan mereka malah ikutan diam dengan wajah bengong tanpa dosa.
“Cuma itu, Singgih.” Ujar mereka.
“Hah?” Singgih mencangah. “Dua hari kalian menyelidiki, hasilnya cuma itu?”
“Ya memang hanya itu, apalagi memangnya! Ini tidak penting!”
Singgih hampir menepuk jidatnya, ia bingung siapa sebenarnya yang tidak tamat sekolah. Tidak butuh lulusan sarjana kan, untuk melihat ini isu yang penting.