Menjelang tengah malam, Singgih masih menimbang-nimbang apakah akan menghubungi nama yang diberikan Setyo atau tidak. Sebagian dari dirinya mengatakan kalau ini bukan urusannya, ada baiknya ia tetap pada rencana Bima dan dapatkan honornya setelah semua selesai. Namun, sebagian lainnya mengatakan kalau ia harus menyelam lebih dalam pada cerita proyek Kindra ini.
Entah mengapa, proyek ini seperti magnet baginya, menariknya dengan perlahan.
Akhirnya setelah agak lama menimbang, tepat jam 00.00 Singgih memutuskan untuk menghubunginya. Ia memutuskan untuk menyelam lebih dalam.
Vidya, itu nama yang tertera dalam carikan yang diberi Setyo.
Sekejap saja, suara halus bernuansa kantuk menyambut telepon Singgih.
“Halo.”
“Vidya?” Tanya Singgih, yang dijawab dengan deham kecil dari Vidya. “Saya Singgih, ada yang perlu saya tanyakan.”
Vidya mengeluarkan suara seperti tercekat. “Singgih? Singgih siapa?”
“Singgih Arwan.”
Lama tak ada balasan dari Vidya. Dirinya menerka-nerka, orang gila mana yang mengaku calon presiden tengah malam buta dan meneleponnya.
“Saya dapat nomor kamu dari Setyo dan saya ingin membicarakan tentang proyek Kindra.” Ujar Singgih, dan direspons dengan suara tarikan napas terkejut dari seberang.
Kantuk Vidya mendadak sirna, bertukar keringat dingin. Jelas sekali yang menelepon ini bukan orang gila, dia Singgih yang asli. Tapi apa hal proyek Kindra bisa mampir ke Singgih?
“Apa pun yang kamu ingin tahu, saya tidak bisa mengatakannya,” Vidya membalas.
“Kita harus bertemu.” Ajak Singgih.
“Tidak perlu, kamu tidak perlu tahu apa pun tentang proyek Kindra. Saya yakin kamu hanya mendengar nama tersebut secara tidak sengaja, kan?”
“Vidya, saya tidak kenal kamu siapa, Setyo yang memberikan saya nomormu. Proyek ini kasus besar, melibatkan orang besar, saya bisa mengendusnya meskipun Setyo menolak menjelaskannya. Jika kamu pun menolak bercerita, saya akan jadikan ini jualan untuk kampanye. Saya akan menyimpulkan sendiri apa itu Kindra dari apa yang saya lihat.” Singgih menegaskan keseriusannya.
“Kamu menghampiri proyek itu?” Suara Vidya pelan dan gemetar.
Singgih tidak menjawabnya, namun diamnya menyuratkan jawaban.
“Saya sedang di luar kota, dua hari lagi setelah jam makan siang kita bertemu di kantor saya, alamat akan saya kirim nanti.” Vidya berbohong, ia sebenarnya ada di ibu kota, tapi butuh waktu untuk berpikir. Bahaya sekali kalau proyek ini diketahui orang yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
...........
Paginya, Vidya langsung bertemu Julian. Saking paniknya, ia bercerita hampir tanpa jeda napas. Julian hanya bengong mengetahui Singgih bisa menghubungi bosnya secara langsung, karena sejauh ini, mereka berada di level konspirasi tertinggi dalam dunia calo, tidak sembarang orang bisa berhubungan dengan mereka, meskipun ia seorang calon presiden.
“Rumit sekali benang merah proyek ini,” gumam Julian.
Ancaman Singgih yang mau menjadikan isu ini sebagai jualan kampanye membuat Vidya tidak tenang, karena orang awam terakhir yang mengetahui tentang proyek Kindra dengan sangat terpaksa harus dibunuh.
Tapi masalahnya, Singgih bukan orang awam, dia calon presiden. Untuk pertama kalinya keanggunan wanita ini luntur terbias khawatir.
“Saya yang akan menemuinya,” tiba-tiba Julian bangun dari bengongnya.
Vidya hanya menoleh sesaat, lalu kembali ke rasa khawatirnya. Ia sadar Julian tidak akan mampu mengurus masalah ini, otaknya belum sampai.
“Hey, saya bilang, saya yang akan urus ini!” Kali ini nadanya langsung naik tiga oktaf disertai tarikan kasar ke lengan Vidya. Ia tak suka dengan gestur merendahkan dari bosnya.
Vidya yang selama ini mendaulat dirinya sebagai pemimpin di antara mereka berdua merasa tersulut. “Apa yang membuatmu mengira kamu bisa mengatasi ini?”
“Saya akan membunuhnya.” Jawab Julian.
“Itu ide terbaikmu?” Balasan Vidya bernada sindiran. Ia benar, otak Julian belum sampai.
Julian memang lebih mirip tukang pukul ketimbang rekan kerja Vidya. Satu-satunya alasan mengapa Vidya masih mempertahankan Julian di sisinya adalah, karena ia mampu memaksa para pengusaha untuk tidak menjual barangnya langsung kepada pemerintah, melainkan harus melewati dirinya sebagai calo, tentunya dengan sedikit ancaman dan mungkin pembunuhan jika menolak.
Julian memiliki jaringan preman di sepanjang negeri ini, mulai dari yang terorganisir hingga yang mangkal di pasar, yang bisa ia manfaatkan ototnya kapan saja ia butuh. Tapi penolakan Vidya tidak membuat Julian putus asa, ia merasa idenya yang terbaik. Mau calon presiden atau rakyat awam, semua yang tidak terdaftar dalam kontrak proyek Kindra harus dibunuh.
Menurutnya, lebih baik mereka mati daripada dirinya yang mati karena dikejar Victoria. Alice tidak akan membiarkan satu saksi pun hidup jika proyek ini muncul ke publik.
Julian diam-diam mengambil telepon genggam Vidya saat ditinggal ke toilet dan dengan cekatan membuka panggilan masuk tadi malam. Hanya ada satu nomor yang tidak diketahui pemiliknya.“Ini pasti nomor Singgih.”
“Kamu jangan melakukan apa pun, saya akan menemui Pras. Nanti saya akan menghubungimu.” Perintah Vidya sekembalinya dari toilet. Ia mengambil ponselnya dan gegas pergi.
“Kamu lihat saja nanti,” gumam Julian.
..........
Pukul 11.00 malam di apartemennya, Singgih terlihat sedang bersiap-siap. Seseorang yang mengaku bernama Julian menghubunginya tadi sore, mengaku sebagai suruhan Vidya yang akan menjelaskan tentang proyek Kindra di suatu tempat di pinggiran kota.
Singgih harus datang sendiri karena menurut Julian, proyek ini tidak boleh diketahui orang lain. Singgih tidak sedikit pun menaruh curiga, rasa ingin tahunya melampaui instingnya akan bahaya.
“Kamu tahu alamat ini?” Singgih memperlihatkan alamat yang tertulis dalam pesan singkat ke Bobby, pengawal yang masih setia berdiri di depan apartemennya. Bobby hanya mengangguk kaku.
“Kalau begitu ikut saya.”
Bobby keheranan, biasanya ia mengekori Singgih dengan memaksa, tapi kali ini malah diajak pergi.
Tidak sampai satu jam, mobil Singgih sudah berhenti di titik pertemuan yang dijanjikan, sebuah komplek bangunan apartemen setengah jadi yang terbengkalai.
Terdapat empat gedung tinggi melingkari tempat Singgih berdiri. Masih berbentuk fondasi tanpa dinding dan berlapis semen saja. Dilihat dari ketinggian belukar dan tumbuhan liar yang merambati gedung, komplek ini sudah terabaikan lebih dari sepuluh tahun.
Satu-satunya penerangan di tempat ini hanyalah cahaya bulan dan lampu mobil Singgih yang terparkir di belakang tempat ia berdiri saat ini, tepat di sisi salah satu gedung.