Empat puluh tahun yang lalu, sebuah penelitian yang menggambarkan kiamat menggemparkan beberapa negara maju. Para pemimpin negara ada yang mendebat, ada pula yang menertawakan.
Namun, setelah beberapa tahun dalam perdebatan, mereka semua menyimpulkan kalau si peneliti mengalami paranoid akut. Dunia baik-baik saja, tidak dalam masalah seperti yang digambarkan olehnya.
Tapi, sebuah negara monarki konstitusional, Britania Raya mempercayai sebaliknya, meyakini ada kebenaran di balik lelucon itu. Mereka menggunakan cara pandang The Tenth Man. Jika ada sembilan orang setuju, maka orang ke sepuluh harus menolaknya. Jika seluruh dunia menganggapnya lelucon, maka mereka harus menanggapinya sebagai kebenaran.
Kiamat yang digambarkan peneliti itu bukanlah akibat tabrakan meteor atau berhentinya perputaran inti bumi. Bukan juga akibat virus atau perkembangan kecerdasan artifisial yang akhirnya mengambil alih kuasa manusia. Kiamat ini lebih sederhana, lebih nyata dan hadir. Sebuah kelaparan dan kekeringan yang disebabkan berkurangnya hajat vital. ‘Air.’
Selama beratus-ratus tahun manusia mendewakan keberadaan minyak dan batu mulia sebagai penentu perkembangan ekonomi dan kehidupan. Mereka lupa kalau sejarah manusia jauh lebih tua dari kebutuhan mereka terhadap benda-benda itu. Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu bertahan tanpa air.
Ratusan ribu tahun manusia hidup tanpa barang tambang atau apa pun yang mengkilap, dan tidak pernah ada masalah hingga revolusi industri mengubah segalanya. Mereka salah kiblat!
Empat puluh tahun yang lalu ketersediaan air dianggap melimpah, melebihi dari kebutuhan manusia saat itu. Pola pikir yang menyatakan bahwa bumi terbuat dari air membutakan mereka. Mereka tidak ingat kalau air laut tidak bisa diminum, dan air tawar hanya tersedia lima persen saja. Cara pandang itu yang akhirnya memutuskan mereka untuk menganggap krisis air ini adalah lelucon abad ini, ide dari peneliti yang sedang cari sensasi.
Namun, perkembangbiakan manusia adalah hak asasi yang tiada bisa diganggu gugat. Jumlah kita yang bertambah berkali-kali lipat setiap dekadenya menguras kuota air yang tersedia.
Hingga hari ini hanya tersisa 2.5 persen saja untuk memenuhi lebih dari tujuh milyar manusia, itu pun dua per tiganya tidak terjangkau karena berada di gunung es dan glasier.