Meskipun tidak suka, Bima tetap mengatur pertemuan Singgih dengan Pras. Ia menunggu di pintu masuk istana untuk memastikan Singgih siap dengan segala ucapan Pras nanti di dalam.
Sejujurnya, Bima khawatir dengan Pras yang berniat mengancam Singgih, tapi bukan itu alasannya menunggu. Ia ingin memastikan agar obrolan tentang proyek Kindra tidak keluar lagi dari mulut Singgih. Karena akan sangat berbahaya jika Pras mendengarnya. Ia tahu betul tabiat Pras, ancaman hanya tahap pertama. Tapi kalau sudah merasa terpojok di tepian jurang, ia yakin Pras tidak ragu untuk bertindak lebih, dan kata “Kindra” yang keluar dari boneka ciptaannya bisa dianggap sebuah pembangkangan. Kita sama sama tahu nasib rata-rata pembangkang dalam sejarah dunia.
Bima mempersiapkan diri saat mobil Singgih memasuki lahan parkir tamu istana. Cemas dan bingung menguasai rautnya begitu melihat Singgih turun dengan tegas dan berjalan cepat menuju pintu masuk sembari menenteng sebuah dokumen. Saking cepatnya Singgih bergerak, Bobby si pengawal sampai kewalahan mengejarnya.
“Saya perlu bicara dulu dengan kamu,” ujar Bima.
“Tidak perlu, bawa saya menemui dia sekarang juga.”
“Kamu harus tahu kalau pertemuan ini adalah untuk,-“
“Bawa saya sekarang!” Sentak Singgih.
Bima tergemap. Ada sesuatu yang bukan Singgih di dalam Singgih. Orang di hadapannya jelas-jelas wujud yang berbeda dari yang ia kenal selama ini.
“Baik, baik, baik. Ikuti saya,” jawabnya dengan harap-harap cemas. Firasatnya mengatakan ‘akan ada sesuatu yang besar terungkap hari ini.’
Di ruang kerjanya, Pras masih sibuk menyisir sebuah dokumen yang harus ia tandatangani saat Singgih menerobos masuk. Ia tak mengindahkan Bima yang menyuruhnya menunggu dulu di depan pintu.
“Oh, halo Singgih, silakan duduk.” Pras menyapa ringan, melepas kacamatanya dan menghampirinya.
Singgih hanya berdiri kaku dengan tatapan menujum dan membiarkan Bima mengambil tempat di sofa panjang di dekatnya berdiri
“Ada yang salah, Singgih?” tanya Pras yang kini bertatap muka dengan Singgih.