Dibayangi kemarahan, Singgih tak menunggu lama, ancamannya ia lakukan benar-benar, menghubungi wartawan untuk jumpa pers malam ini. Mengiming-imingi mereka dengan isu besar, isu yang akan mengguncang seantero negeri.
Para wartawan dengan semangat 45 langsung angkat senjata. Semua perlengkapan wawancara dalam mode siaga, undangan Singgih menyebar bak wabah di udara. Karena tidak ada isu yang lebih sedap untuk digoreng selain isu Pemilu, apalagi ini kesaksian langsung dari salah satu calon.
Sementara di istana, Bima bergerak cepat dengan menghubungi Rindra, memberi tahu informasi tentang wujud proyek Kindra.
“Air?” kata Rindra keheranan.
“Iya air.” Bima menegaskan.
“Ada apa dengan air?”
“Jangan tanya saya, kita hidup di ibu kota, berhubungan dekat dengan presiden, jadi mungkin tidak merasakan dampaknya. Tapi Menurut Singgih, kekeringan ekstrem sudah melanda di seluruh penjuru negeri.”
Rindra terdiam.
“Lalu Victoria. Ternyata ia bukan korporasi besar biasa. Tampaknya Victoria berafiliasi dengan negara superpower,” lanjut Bima.
"Kamu sudah dapat bukti keterlibatan Pras?" tanya Rindra, seolah tak peduli dengan informasi barusan, padahal wujud proyek Kindra yang terbongkar ini adalah sebab musabab Bima harus melakukan penyamaran.
"Belum ada, dokumen yang dibawa Singgih tadi langsung dibakar olehnya."
“Sial! Brengsek! Kenapa tidak kamu halangi! tidak kamu ambil dokumennya!”
Bima diam sejenak, jelas ada yang tidak sesuai dengan respon kepala polisi satu ini.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?” Rindra bertanya lagi.