KINDRA

krkawuryan
Chapter #40

Petrikor

Tidak sampai dua puluh menit Singgih sudah bersama Bima di dalam mobil. Napasnya adu cepat dengan gerung mobil yang berlari kesetanan. Sudah lebih dua puluh kali Singgih menyumpahi dirinya karena telah tersilap tentang Ayu. Ia terlalu khusyuk dalam amarahnya kepada sampai-sampai tidak ingat dengan wanita yang pernah ia kecewakan.

“Kenapa tidak mengatakannya kepada saya dari awal? Kenapa merahasiakan dia? Apa hubungan kalian?”

Bima menghujani dengan pertanyaan, meskipun tidak satu pun diindahkan Singgih. Telinganya mendengar tapi pikirannya melayang.

“Singgih!!”

Teriakan Bima sekali ini menyadarkan Singgih .

“Saya tidak tahu! Saya tidak tahu!” Singgih linglung.

Singgih tidak fokus, semua jiwa dan pikirannya terfokus pada perempuan bernama Indira Ayu itu. Sebenarnya Bima bertanya hanya untuk memverifikasi, ia sudah bisa membayangkan siapa Ayu dari ketakutan Singgih yang kelewat batas saat ini.

Tak jauh, saat melintasi lahan parkir Singgih yang dulu. pemandangan mengerikan memeranjatkan mereka. Banyak orang berkumpul di depan mini market yang berdampingan dengan apotek Singgih.

Ada jejak darah berhamburan di dekatnya, tampaknya berasal dari jasad yang sudah tertutup koran, tergeletak begitu saja di depan mini market.

Sontak Singgih mencoba keluar mobil, ia yakin jasad itu adalah temannya, si tukang parkir mini market. Namun Bima menahannya, menyadarkan bukan ini tujuan mereka.

Johar ternyata bergerak dengan sangat cepat. Kurang dari dua jam, sudah dua orang menjadi mangsanya. Sungguh penjagal sejati. Tak heran ia dipertahankan di sisi Pras meskipun pangkatnya sudah mentok tak kemana-mana.

Malam ini akan mencekam.

Singgih panik, meminta sopir memacu mobil lebih cepat menuju mini market tempat Ayu bekerja. Tangannya memukul-mukul kursi sopir bak joki yang sedang memecut kudanya. Namun, sesampainya di sana, kondisinya sudah gelap dan tutup. Singgih lupa kalau mini market Ayu tidak dua puluh empat jam seperti yang lainnya. Ia menghambur turun dari mobil dan mengedarkan pandangannya dengan napas memburu. Pikirannya tidak jernih, ia berulang kali mengusap wajahnya, berusaha mengembalikan akalnya agar bisa menebak keberadaan Ayu.

“Kita ke mana sekarang?” tanya Bima.

Singgih berusaha menarik napas dengan tempo. “Kita ke rumahnya.”

“Kamu tidak punya nomornya?”

Singgih menggeleng dan langsung berlari cepat ke arah jalan yang rusak dulu. Jalan kenangan yang membuatnya bisa menggenggam tangan Ayu sepanjang jalan pulang.

Sesampainya di percabangan tempat ia berpisah dulu, Singgih terhenti. Ia tidak tahu ke mana lagi. Ia tidak tahu yang mana rumah Ayu, yang ia ingat hanya Ayu masuk ke gang ini dan ada puluhan cabang dan rumah di dalamnya.

“Kamu tidak tahu rumahnya?” tanya Bima terengah-engah, ia mulai menyesali tidak pernah ikut lari pagi bersama Pras di Istana.

“Tidak tahu, saya akan bertanya ke salah satu rumah.“ Singgih langsung menghampiri salah satu rumah yang ia pilih dengan acak.

Bima sontak menahan, tindakan Singgih bisa menghebohkan seisi gang. Terbayang bagaimana ricuhnya kalau mengetahui calon presiden mengetuk rumah kita di tengah malam. Namun mantan tukang parkir ini benar-benar dalam situasi hilang akal, tak diindahkan lagi si Bima. Ia dengan gegas berlari menuju salah satu rumah.

Untunglah semesta selalu memiliki cara.

Tak jauh dari situ, Singgih mendadak menghentikan langkah beberapa meter di depannya. Ia berhadapan dengan seseorang, Bima tidak bisa memastikan siapa karena sorot lampu gang tak sampai ke arahnya

..........

Bau tanah basah akibat hujan rintik yang tiba-tiba menyerang menyerbak di antara mereka berdua. Semesta seperti memahami situasi yang terjadi, ia menciptakan mendung agar sama dengan perasaan wanita yang kini berdiri di hadapan Singgih.

Dua tahun lalu, di gang ini Singgih berjalan meratapi takdirnya yang tidak ramah. Ia menunduk menghitung langkahnya hingga seorang wanita menghadang jalannya -atau ia yang menghadang jalan wanita tersebut- Apa pun itu, ia mensyukuri hari itu.

Hari ini kejadian itu terulang lagi, meskipun kondisinya jauh berbeda, namun ada satu hal yang masih sama, cintanya Singgih kepada Ayu. Ia memang memuja wanita itu sejak lama.

Ayu terperanjat melihat Singgih yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Setelah lebih dua tahun lalu Singgih memberi kenangan terindah disertai coklat dan bunga yang hingga hari ini masih tersimpan di kontrakannya meskipun tinggal batangnya saja, tiba-tiba ia muncul lagi dalam wujud yang berbeda. Tanpa baju usang dan peluit biru yang menggantung.

Ayu ingin sekali mengutuknya karena tidak menepati janji untuk menjemputnya lagi, tapi tak beranilah ia. Siapa yang berani menghina calon presiden.

Singgih tergagap. “A..Ayu, kamu tidak apa-ap,-“

“Saya baik-baik saja!” Ayu memotong ketus.

Singgih terdiam, perasaan khawatirnya luluh seketika. Ia melepas napas panjang melihat Ayu masih sama seperti dulu, rambut kuncir kuda berwarna hitam berkilat dan mata bundar yang sangat bersahabat dan menghangatkan.

“Sedang apa kamu di sini?” tanya Ayu pelan.

Lihat selengkapnya