Tidak sekalipun Bima membayangkan kalau ia akan membawa seseorang hanya untuk dibunuhi orang terdekatnya, hanya untuk dihilangkan masa lalunya. Bukan ini tujuannya menawarkannya pekerjaan ini ke Singgih. Jika bukan karena ambisinya untuk membongkar proyek Kindra, Singgih tidak akan mengalami ini, drama ini tidak akan terjadi.
Matanya penuh duka dan ratapan dosa, menatap Singgih yang tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Ia bingung mana yang lebih menyakitkan, melihat Singgih mati atau melihat Singgih patah arang karena mendengar Ayu sudah dikubur tadi siang. Ini beban terberat yang pernah ditanggungnya, lebih berat daripada saat Rindra memintanya menjadi mata-mata.
Sementara itu di istana, Pras meradang ke Johar, marah luar biasa saat mengetahui Singgih juga menjadi korban. Kalau Singgih mati, semua strateginya akan berantakan.
“Kenapa harus pakai bom!” Pras nyaris berteriak. “Kan, bisa tinggal culik atau tembak di tempat sekalian!”
“Tadinya mau begitu, tapi Singgih tiba-tiba muncul dan saya harus menunggu. Akhirnya diputuskan untuk memasang bom kecil saja, karena tidak akan ada kesempatan lagi setelahnya. Singgih mau membawa pulang gadis itu.” Johar menjelaskan kalem.
Pras menghempaskan diri ke sofa. “Bom kecil katamu! Dasar bodoh!”
“Yang penting semua saksinya sudah hilang. Dia tidak bisa mundur lagi. Lagi pula dia selamat, hanya saja belum sadar.”
Pras tak membalas lagi. Johar benar, ancaman Singgih sudah tak berarti lagi. Jika ia masih nekat mengundurkan diri, Pras sudah menyiapkan saksi palsu yang akan melawan pernyataan Singgih tentang dirinya sebagai calon boneka. Singgih hanya akan berakhir di penjara.
Tapi bukan itu masalah intinya.
Masalah intinya adalah, pemilihan tidak bisa dilakukan jika ia maju sendirian, calon tunggal. Pras tak akan sempat untuk menyiapkan calon boneka lainnya. Yang ada Pras justru akan menghadapi calon kuat seperti Setyo.
“Singgih tak boleh mundur apa pun alasannya. Kita akan menjenguknya besok. Kita semua!” Pras memerintahkan.
..........
Riuh rendah terdengar berbisik-bisik di ruang kamar rawat Singgih ini. Meskipun menempati ruang super VVIP, tetap saja tidak menjadikannya nyaman. Orang-orang silih berganti menjenguknya, meskipun tak sekalipun ia terbangun menyambut mereka.
Singgih masih belum sadar meskipun telah lewat masa kritisnya. Berkali-kali ia mendengar riuh rendah orang di sekitarnya, namun enggan ia membuka mata. Singgih berharap kalau semua hanya mimpi buruk, berharap terbangun di dalam kontrakan sempitnya dan bersiap untuk kembali menjaga parkiran.
Sementara itu, Bima tidak satu menit pun meninggalkan Singgih. Sejak pertama melihat Singgih tergeletak bersimbah darah malam itu, perasaan bersalah berputar di sekelilingnya. Tidak mudah untuk bertanggung jawab atas kematian dan rusaknya hidup seseorang sekaligus.
Berita tentang ledakan malam itu menyebar seperti virus di udara, cepat dan menimbulkan banyak persepsi. Pras sempat menjadi tersangka utama oleh para Singgih-isme. Tapi terus terbantah dengan berita yang direkayasa, yaitu Singgih terkena ledakan dari tabung gas yang tersambar arus pendek.
Di malam berikutnya Singgih memberanikan diri untuk membuka mata dan menyadarkan diri sepenuhnya. Ia mengerjap-ngerjap untuk membiasakan diri dengan cahaya setelah tiga hari tidak sadarkan diri. Matanya berusaha mengedarkan pandangannya yang berpendar dan buram seperti baru keluar dari dalam gua.
“Singgih,” suara Bima muncul dari pandangan buramnya. Ia tidak bisa menerka yang mana Bima, terlalu banyak orang dengan wajah yang sama, kusut dan berbayang.
“Singgih,” Bima mengulang. Kali ini ia menyentuh pundak Singgih, memberi tahu posisinya.
Singgih menoleh dan menyipitkan matanya.
Perlahan penglihatannya kembali, semakin jelas dan semakin jelas dan jelas. Ia kembali mengedarkan pandangannya, mencari Ayu. Berharap semua masih mimpi.
Tapi tidak ada Ayu di sana.