Kamar Singgih tidak lagi ramai. Penengoknya sudah pulang semua. Asisten dan staf pun berjaga di luar kamar. Singgih tidur seorang diri ditemani temaram cahaya kota yang menyeruak dari jendela besar dekat ranjangnya. Suara bising kendaraan di jalan raya samar terdengar, membuat suasana tidak terlalu sunyi dan hening. Singgih sedang berusaha terlelap hingga seseorang tiba-tiba membuka pintu dengan kasar dan menyeruak masuk tanpa salam.
“Singgih...Singgih...Singgih, bangun Singgih,” seorang wanita bersuara halus mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya.
Singgih membuka matanya perlahan, ia mengenal suara ini.
“Ayu?”
“Kamu tidur terus, lekas bangun.”
“Kamu ngapain di sini?” tanya Singgih.
“Menemani kamu. Tidak ada orang lain di sini, kan? Biar saya saja yang menemani kamu.”
Singgih mengedarkan pandangannya, ia tidak ingat kapan orang-orang meninggalkannya. Tiba-tiba saja kamar ini menjadi hening tanpa ada riuh bisikan lagi.
“Kasihan kamu, sakit pun sendirian.” Ayu mengambil tangan Singgih dan mengusap punggung tangannya dengan lembut.
Sensasi tenang merambati Singgih seketika. Nyeri yang tadinya masih terasa langsung tersulap hilang.
“Saya sudah biasa sendirian.” Singgih menjawab pelan.
“Kamu selalu mengatakan itu. Tidak ada manusia yang terlahir sendiri.”
Wajah cemberut menggemaskan itu muncul lagi. Singgih tersenyum melihatnya.