King Level S

ikbal richard
Chapter #2

Misi yang gagal

Cepat-cepat tanganku mengambil sebuah ponsel dari dalam saku, kemudian mencoba menghubungi salah seorang rekan satu geng yang memiliki alat transportasi super cepat, yang mungkin mampu membawaku langsung ke distrik jembatan 3. Yaitu salah satu lokasi paling berbahaya bagi markas perkumpulan para preman buangan milik geng Ametys, ditambah dengan kepala pemimpin mereka yang juga berhasil menggenggam seluruh jabatan kekuasaannya di sana.


"Antar aku atas perintah bos besar malam ini!"


"Baik." Antusias pria yang berbicara dalam telepon itu menjawab, kemudian sesegera mungkin mulai langsung menancapkan gas mobilnya yang sedari tadi memang terparkir diambang gedung klub malam, sementara tangan satunya cekatan menekan sebuah tuas kecepatan. "Tunggu aku lima belas menit lagi." Lanjutnya, kemudian langsung menggeser ponselnya menutup sebuah tombol panggilan.


Waktu melesat singkat malam itu. Kaca mobil menyusut menampilkan seorang pria gendut di dalamnya, tersenyum kemudian melambaikan tangan. "Ayo ikut." Titahnya yang hanya dijawab olehku dengan mulut tertutup. Lalu masuk duduk diambang kursi bagian setir.


"Kita akan ke mana malam ini, Dave." Katanya lagi, sembari menancapkan kopling gasnya kembali, sedang tangannya membanting setir cekatan ke kiri.


"Kota kecil distrik 3 daerah ujung selatan, 165 kilometer dari tempat tujuan." Balasku acuh tak acuh. Tapi pria gendut itu tidak pernah protes, wajahnya tetap tersenyum riang, lalu bernyanyi tidak jelas seakan asal-asalan tidak peduli liriknya ke mana juga. Mungkin karena ia menganggap hubungan kami yang baginya sudah tidak lagi sebatas rekan satu geng, melainkan sudah seperti saudara kandung, antara adik dan kakak meski sebenarnya tidak pernah akur sekalipun.


Pria gendut itu bernama Rei. Seorang anggota baru ber-level E tingkat bawah, keberadaannya baru saja awal November kemarin ia diterima masuk ke dalam geng, maka tak heran pula bila kemampuan membidik tembakannya saja begitu payah. Pernah sekali saat terakhir kali Rei ditantang duel pistol bersama Barbosa, salah satu tangan kanan Bos yang memiliki bakat merancang sebuah strategi. tapi sayangnya tidak satu ronde pun bakat kemampuan Rei bisa lolos mengalahkan keahlian barbosa, bahkan untuk sekedar hampir mengenai bidikan target pun Rei tidak pernah. Ah sudahlah, anggap saja dia begitu payah. Namun satu hal yang aku sukai darinya, yaitu kepercayaan dan solidaritas yang begitu tinggi kepada sesama rekannya sendiri.

“Hati-hati!”

Mendadak Rei tiba-tiba saja menekan kuat rem mobilnya, seakan ia hampir menabrak sesuatu yang tidak terduga. “Ada apa?” geramku kesal, yang kemudian dia mulai menunjukkannya kepadaku, tanpa berkata basi-basi Rei keluar dari dalam mobil, dan menyorotnya menggunakan senter. “Lihatlah!” Telunjuknya menunjuk ke arah jasad manusia yang dibiarkan terbaring mati begitu saja.

“Sial tidak tahu kenapa aku mulai sangat membenci distrik 3 kota J selatan.”

“Toh, apakkah kau tidak pernah mendengar berita itu sebelumnya, Dave?”

“Maksud mu?” Tanyaku kembali sangat penasaran.

“2 bulan yang lalu. Kota ini sudah berhasil diluluh lantahkan geng Ametys hingga menjadi hancur lebur. Ketika mereka ditugaskan mengusir empat puluh orang penyelundup milik suruhan ketua geng Azure, lagi para penyelundup itu dipimpin oleh tuan Hamura, dialah salah seorang tangan kanan kepercayaan yang paling lekat sekali bagi ketua geng Azure pada saat ini.”

“Dari mana kau bisa mengetahui semua berita itu?”

“Sederhana saja. Aku pernah mendengarnya melalui desar-desus salah satu warga sipil, yang mengaku dirinya sebagai saksi mata sekaligus korban atas seluruh pembantaian nyawa keluarganya.”

Aku tersenyum getir, “Lebih baik kembali masuk ke mobil,” kataku tidak tertarik dengan berita itu. 

“Cih,” umpat Rei, mengangguk muram mencoba menerka apa masalahnya. Kemudian ikut duduk berusaha menyalakan mobilnya kembali. “Paling-paling kita berdua juga hanya akan menjadi buruan geng Ametys saja.” Rei berujar dalam hati. Tanpa rasa berdosa, mobilnya langsung melaju menabrak jasad mati yang baru saja di tunjukan olehnya tadi.

Sudah seperempat jalan, Aku termangut melihat suasana cahaya sempurna menyambut kemunculan sang surya. Pukul 06;00 siang, kota-kota besar bertabur keramaian, jalanan dipenuhi oleh kemacetan, ricuh lalu lalang ribuan orang sibuk beriringan pergi ke tempat pekerjaan, ada yang ke toko, gedung perkantoran, sementara sebagian besar pula, mereka bahkan ada yang menuju sebuah pasar tumpah yang katanya terkenal dengan harganya yang murah.

Dengan wajah kusut nan membosankan aku melihat pemandangan bodoh itu. Kemudian sebuah pukulan keras yang aku buat mendarat langsung di kepala Rei, yang otomatis membuat Rei dalam keadaan lemas langsung termangut setengah sadar. Lagi pula jika harus diingat-ingat, tak heran pula sepanjang malam kami hanya 2 jam saja beristirahat hingga tertidur di dalam mobil milik Rei. 


****


Melintas ke tempat lain. Darloc seorang bawahan kepercayaan ketua geng Ametys, tampak langkahnya mengayuh menuju ke sebuah pintu besar yang diapit oleh dua budak penjaga keamanan. Tanpa Darloc berkata lagi, dua penjaga itu sudah mengerti untuk membuka pintu ruangan sesegera mungkin, sebelum Darloc dengan mudahnya menembaki kepala mereka sembarangan. 

“Whoaa... Sahabat baikku Darloc,” antusias ketua Jordan menyambut kedatangan bawahannya itu, sembari asyik memutar balikan kursi putar kerjanya seperti anak-anak. beriringan dengan senyum kecut Darloc yang perlahan semakin menyusut. Lalu berjalan secara perlahan dan melambaikan tangan ‘bersalaman’.

“Aku ingin berkata hal penting,” ucap Darloc, kali ini dengan nada tak terbantahkan, yang kemudian disusul dengan raut wajah ketua Jordan yang seketika berubah suram.

“Tolong dengarkan aku, Pak tua!” Darloc membentak marah. “Aku sudah tidak ingin tahu menahu lagi. Buru-buru kau keluarkan anggota kita yang bernama Kai!”

“Ada apa dengan anak itu?” Ketua mengerutkan kening seketika, “Apakah anak itu membuat ulah padamu?”

Darloc terdiam sejenak, berusaha menyusun kata sebelum dia memberi tahukan kabar yang sebenarnya kepada ketua.

“Hai bocah idiot. Aku lama menunggu mu bicara bodoh!” Kali ini ketua balik membentak, memotong. Sedang kedua mata tajamnya menatap lamat-lamat menahan kesabaran.

Dengan tenang Darloc mulai mengatakannya, menghirup nafas panjang seakan berat untuk di ucapkan. “Kai seorang penghianat geng, anak itu menghancurkan kepercayaan kita.”

“Maksud mu?”

Lihat selengkapnya