King Level S

ikbal richard
Chapter #3

3 pembunuh profesional

Darloc berpindah mengambil sebuah kain putih tertutup lumpur itu kembali, seraya menatap lamat-lamat dengan raut wajah yang lelah terukir payah, mengiringi ingatannya akan sesuatu kala ia lihat sobekan kain yang baginya bukanlah sobekan kain biasa. Darloc bisa mengenali betul siapa pemilik kain itu, yakni adiknya sendiri, “Barbosa.”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tangan Darloc memukul keras salah satu kaca jendela dibelakang-Nya hingga pecah, disusul dengan beracakan darah yang mulai mengalir deras, lembam akibat serpihan goresan kaca yang mengenai tangannya tadi. Tapi hebatnya Darloc tidak sedikit pun menunjukkan ekspresi kesakitan, dia hanya menggertak tidak sabar kemudian berteriak, “Sialan!”


Darloc berlari terengah-engah melewati setiap koridor sepanjang ruangan, lantai berderap berisik, menaiki puluhan anak tangga yang kemudian langsung menoleh ke arah sebuah lawang pintu di depannya. dan benar saja sesuai yang diharapkan ia langsung mendapati seorang pria berambut pirang berstatus level S, tampak keberadaannya tengah asyik duduk di atas kursi putar sembari menuliskan ribuan kata di atas buku tua. 


“Sudah tidak ada waktu untukmu, Max!”


“Aih, dasar tukang atur...” umpat Max berkata pelan. Takut melihat seniornya tiba-tiba datang dengan wajah menyeramkan.


“Di mana gadis kecil mu?” Darloc bertanya dengan nada tinggi.


“Oh, Lylia maksud tuan, nanti akan aku panggilkan,” Max menutup bukunya kemudian cepat-cepat bergegas bangkit dari kursi kerjanya dan berlalu.


“cepatlah, ada tugas yang akan aku berikan kepada kalian berdua,” Darloc memberitahu.


Dalam waktu itu hanya terselang 40 sampai 50 detik, sepanjang waktu Darloc hanya asyik melihat coretan buku tua milik Max, ah ternyata hanya sebuah karangan buku cerita, batin Darloc merasa tidak tertarik sedikit pun. Lagi bagaimana bisa penjahat tingkat S seperti Max memiliki kepribadian seorang penulis yang cukup kreatif dalam menyusun kata. Dari mana ia belajar? Apakah dari latihan pukulan dan menembak bidikan.


“Apa kau menyukai novel karanganku itu?” Max tersenyum kecut melihat seniornya diam-diam penasaran membuka bukunya.


“Tidak sama sekali, dan lagi PUEBI-nya masih belum rapi.”


“Aduh, kejam sekali ucapan mu tuan,” sergah Max tidak peduli, tangannya melepaskan jaket berbulu yang dikenakannya selama jam bekerja, kemudian menampilkan postur perawakan tubuh yang tampak atletis penuh keringat di setiap bulir-bulir ototnya, terutama bulu-bulu lebat yang menutupi kedua belahan dadanyalah yang menjadi kesan kejantanan Max yang memang begitu diminati setiap anggota di sana. 


“Di mana gadis kecil itu?” Darloc kembali bertanya.


“Biasalah, anak kecil memang sangat susah untuk di urus.”


“SIAPA YANG KAU BILANG ANAK KECIL, PAK TUA!”


Lylia tiba-tiba muncul dengan aura mengancam yang begitu kuat, berdiri di depan pintu kerja yang terbuka lebar. Lantaran kesalahan ucapan Max yang telah membuatnya marah, alih-alih tanpa berbasa-basi lagi, Lylia langsung saja melemparkan sebilah mata pisau kecil miliknya yang melesat cepat hendak ke arah punggung Max.

Lihat selengkapnya