King Level S

ikbal richard
Chapter #4

Duel

Pagi itu, aku dan Rei bertahan dibalik mobil sedan yang terparkir di halaman gedung besar tempat penyimpanan uang. Udara dingin bertiup kencang menggerogoti kulitku, peluhku basah kuyup akibat terpaan air hujan, membuat rambutku semakin berantakan, dua lembar poni mencuat ke bawah hampir menusuk kedua bola mataku. Kala mengerling ke segala penjuru arah angin.


Aku bisa melihat lawanku dari balik remang-remang kelabu, berubah seketika semuanya menjadi jelas dalam sekejap mata. Ada lima pria bertopi koboi berdiri sehat sambil mengokang senapan di antara bayang-bayang tonggak lampu jalanan, mereka mengintai secara diam, laksana seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Tanpa basa-basi saat itu pula hammer di kokang ke belakang secara bersamaan, dengan jempol bersiap menekan pelatuk senapan masing-masing.

Serentak dalam satu kali tembakan pertama, peluru melesat hingga menciptakan rentetan-rentetan peluru yang maha dahsyat, berusaha saling melukai melalui serangan-serang kami yang kian saling beradu di antara dua kubu, puluhan selongsong kosong berhamburan ke permukaan setelah peluru meleset, kemudian silinder berputar otomatis mensejajarkan selongsong berikutnya dengan pin tembak aktif. 


Ribuan peluru melesat begitu cepat. Sembari berjalan mendekat Halter menggerakkan 5 pasukannya maju ke depan, sementara sisanya memecah kelompok hingga menjadi dua bagian, satu bagian berjalan memutar ke arah barat, sedang satunya ke utara. 


“Kita sudah kalah, kawan!”

Mendadak aku menerkam tangan Rei keluar dari balik pertahanan mobil sedan, berusaha menghindari kontroversi serangan lawan yang semakin menjadi-jadi. 

Beberapa lesatan tembakan terdengar di belakang, mereka mengejar dengan langkah tak kalah gesit, seakan memiliki kaki yang begitu kuat, satu kali hentakan mampu mengejar kami dengan begitu cepat. Halter bergerak paling depan dengan sebilah pisau yang melintang di kedua genggaman tangannya. Sementara sisanya berlari sambil mengokang satu buah senapan berlaras panjang.


Lantas berbelok cepat ke arah kiri, masuk ke sebuah lorong-lorong raksasa lewat terowongan jalan tol, dan kulihat di depan sana setitik berkas cahaya misterius mampu kami dapati jauh melalui remang-remang bayangan kegelapan, yang kemudian memusat perhatianku kala dirasa sudah semakin dekat, aku berjalan perlahan ke arah asal cahaya asing itu, maka semakin kontras pula segalanya yang berada di luar sana mampuku lihat secara jelas.


Bukan main, mendadak tanpa diduga, kakiku menjajaki kawasan ribuan bangkai-bangkai perumahan kumuh beserta bongkahan bekas sisa bangunan hebat yang telah lama tertinggal. Gedung bertingkat-tingkat, jendela kaca berdebu, dengan tembok-tembok lusuh yang kian usang berlapis lumut tebal. Agaknya tempat ini sangat aman namun sudah lama tertinggal.


Tanganku membuka sebuah pintu dari potongan kayu oat dengan hendel yang terbuat dari gagang besi berkarat, dan kulihat keadaan atap beserta lantainya yang menyatu dengan tanah, akan tetapi siapa yang peduli dengan hal bodoh semacam itu? Setidaknya ada waktu untukku mengubah arah haluan hingga lengang sampai situasinya benar-benar berubah menjadi sangat aman.


Sayangnya hanya terselang beberapa detik. Para pria ber jas hitam itu kembali, dengan langkah-langkah yang menggema diujung arah terowongan. Teriakan demi terikan, Halter berusaha mengidentifikasi keberadaan kami di antara banyaknya rumah-rumah tua yang berjejer di setiap kawasan gang tertinggal. Alih-alih jempolnya sekali lagi menekan pelatuk revolver ke belakang, sehingga menciptakan desingan suara mesiu yang terdengar begitu keras ditengah-tengah suasana sunyi senyap.

“Keluarlah tikus-tikus jalanan,” ucapnya dengan nada menantang.


Detik demi detik aku dan Rei hanya terus berdiam, membekap mulut dengan tubuh yang menempel di antara sudut-sudut tembok rumah kayu. “Syuut!” Rei mengangguk sekali lagi, berjalan cepat menuju sebuah ruangan yang dirasa tampak begitu sangat gelap, sambil tetap lebih fokus menatap ke arah sekitar. Kami menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi oleh puluhan tumpukan piring-piring pecah dan gelas yang sebagian masih tersusun rapi. Rak berdebu dengan sendok dan garpu berserak di atas lantai, berbagai macam-macam pisau berkarat terpajang menempel di setiap permukaan tembok tua, dari mulai mata pisau berukuran kecil berjenis Chef’s knife, Paring knife, Bread knife. Hingga pisau yang berukuran sangat besar, khususnya berfungsi sebagai alat pemotong daging.


Sialnya, belum sempat aku mengambil jenis mata pisau paling besar di depanku, ‘Meat cleaver’. Mendadak pintu oat kembali berderit kencang, lawang terbuka secara lebar, “GAWAT!” Aku menoleh tanpa kata, berusaha mengintai semua pergerakan musuh menggunakan mata telanjang dari kejauhan. Dalam pada masa itu sesosok bayangan aneh masuk melalui celah-celah pintu, mula-mula hanya laras senapannya saja yang aku tangkap, kemudian disusul oleh bayangan 5 pria ber jas hitam dalam sebuah deretan yang membentuk barisan.


“Geledah semua barang-barang di rumah ini.” Halter berseru, kakinya menendang sebuah meja, kemudian menghempaskannya jauh dari pandangan. Pecahan kaca berhamburan di atas permukaan lantai, bangkai lemari dibanting keras sampai hancur lebur. Pintu berlubang setelah mereka mencurigai keberadaan kami.


Tidak ada waktu! Rei melepas magasin amunisi, kemudian mengisinya cepat. Sudah penuh. Alih-alih tangannya teracung tanpa menunjukkan rasa ragu, seolah waktu berhenti berputar membiarkannya memberikan penyerangan, dan dalam detik-detik yang berharga itu, seketika terkaannya tertuju pada sebuah laras pistol yang mengarah tepat, sesuai dengan ramalan titik bidikan target ia menarik napas panjang kemudian mulai menarik kuat pelatuk pistolnya.


Dar!

Lihat selengkapnya