Sepuluh tahun setelah kemunculan sebuah menara misterius di lautan Samudra Pasifik, berbagai sektor kehidupan dunia berubah drastis. Menara yang tingginya menjulang langit hingga bisa dilihat hampir di seluruh dunia selalu menjadi pusat perhatian.
Menara itu memberikan kekayaan dengan beragam kristal yang tidak ternilai harganya. Namun, menara itu selalu menuntut manusia untuk menaklukan semua lantai yang ada di sana. Lantai yang banyak berisi monster dan kematian.
Ya, menara itu memberikan segalanya. Baik kekuatan, kekayaan, popularitas, tapi juga teror.
Siapa yang mau mempertaruhkan nyawanya? Hanya para hunter yang bisa pergi. Mereka adalah manusia yang mendapatkan kekuatan khusus secara acak dari menara. Namun, tetap saja banyak hunter yang gagal dan lantai menara tidak kunjung sukses ditaklukan.
Menara itu seolah kesal karena lantainya tidak kunjung ditaklukkan. Menara itu kemudian memberikan hukuman pada manusia dengan memunculkan banyak dungeon di berbagai daerah di muka bumi. Dungeon yang berisi para monster beserta bosnya yang tidak segan keluar dan mengacau. Hal ini membuat keadaan dunia diliputi teror monster.
Meski begitu, hal ini juga menjadi pusat bisnis masa kini.
Orang terkaya saat ini adalah orang yang memiliki status sebagai hunter rank tertinggi. Mereka mendapatkan bayaran sangat mahal dari menaklukkan dungeon yang tiba-tiba muncul. Tentu saja ini sangat menggiurkan, tapi faktanya tidak semua manusia mendapatkan kekuatan khusus dari menara. Meski begitu, mereka tetap bisa mendapatkan bayaran cukup besar dengan bekerja sebagai pengumpul bangkai monster dan penggali tambang kristal yang ada di dungeon.
Ya, itulah dunia saat ini. Tidak terkecuali dengan kehidupan di Indonesia.
“Abang hari ini pergi nguli lagi?” tanya seorang anak perempuan bernama Maharani sambil menguap. Kaos kebesaran yang dipakainya membuat pundak kanannya terlihat. Kalau bukan karena kakaknya akan pergi, dia tidak akan mau beranjak dari kasurnya.
“Iya Dek, kalau abang nggak nguli, nanti kamu makan apa?” tanya balik Brilyan sambil menatap gemas adiknya sendiri.
Kali ini Maharani menghembuskan napasnya kesal. Kedua alisnya bertautan. “Kenapa sih Abang betah banget kerja jadi kuli tambang? Padahal kan Abang bisa cari kerjaan lain. Adek malu Bang sering disindirin tetangga.”
“Kenapa malu? Lagipula kerjaan yang abang lakuin ini halal. Harusnya kamu bersyukur karena abang masih bisa kerja supaya kamu bisa makan dan juga bayar perawatan ibu,” jawab Brilyan sambil menalikan tali sepatunya. Tidak ada satu keraguan pun dari perkataannya. Dia memang selalu berusaha untuk mensyukuri tiap inchi kebaikan yang ada di dalam hidupnya.
“Padahal kan Abang dari dulu jago bela diri, kenapa sih malah Abang yang enggak dapet kekuatan dari menara?” pekik Maharani kesal. Membuka luka yang selama ini selalu disimpan Brilyan seorang diri.